TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi menganugerahkan penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma untuk mendiang musisi Djauhar Zaharsyah Fachrudin Roesli atau Harry Roesli pada Rabu, 14 Agustus 2024. Tanda kehormatan ini diberikan Jokowi untuk Harry Roesli atas pengaruhnya di bidang kebudayaan nasional.
Selain Harry, Jokowi juga memberikan penghargaan serupa untuk KH Ali Manshur Shiddiq. Dia adalah tokoh ulama yang menciptakan Salawat Badar, yang populer di Indonesia.
Melansir dari laman Sekretariat Kabinet, total terdapat 64 tokoh yang menerima tanda jasa dan tanda kehormatan dari Presiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta, pada Rabu kemarin, 14 Agustus 2024. Para tokoh tersebut mulai dari anggota Kabinet Indonesia Maju hingga ketua umum partai politik.
Tanda kehormatan itu pun berupa Medali Kepeloporan, penghargaan Bintang Republik Indonesia Utama, Bintang Mahaputera Adipradana, Bintang Mahaputera Utama, Bintang Mahaputera Pratama, Bintang Mahaputera Naraya, Bintang Mahaputera, Bintang Jasa Utama, dan Bintang Jasa Pratama.
Adapun Bintang Budaya Parama Dharma yang diberikan kepada Harry Roesli dan Ali Manshur Shiddiq adalah tanda kehormatan yang tertinggi dalam bidang kebudayaan. Penghargaan ini setingkat dengan Bintang Jasa kelas Utama.
Lantas, siapa Harry Roesli penerima Bintang Budaya Parama Dharma dari Presiden Jokowi? Simak informasinya berikut ini.
Profil Harry Roesli
Djauhar Zaharsyah Fachrudin Roesli atau yang lebih dikenal dengan nama Harry Roesli adalah seorang seniman dan musisi Indonesia. Dia lahir di Bandung pada 10 Desember 1951 dan meninggal pada 11 Desember 2004 silam.
Harry Roesli dikenal sebagai sosok seniman yang memiliki kepedulian sosial dan sering mengkritik perilaku politikus. Dengan karya-karya musiknya yang kerap bernuansa satire dan getir, Harry seperti ingin menjewer siapa saja yang dianggap menyimpang.
Mengutip dari Koran Tempo yang terbit 12 Desember 2014, disebutkan bahwa Harry semula bercita-cita menjadi insinyur. Dia bahkan sempat mengecap pendidikan di jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung selama empat semester.
Namun, tiba-tiba keinginan Harry berubah dan berganti ke jalur musik. Saat itu, ketiga orang kakak dan ibunya mendukung langkah Harry. Hanya ayahnya yang sempat mencap jelek profesi pemusik karena identik dengan mabuk-mabukan.
Tetapi sang ayah akhirnya pun setuju dengan keinginan Harry selama musiknya tidak dikomersialkan. Inilah yang menjadi warna musik Harry di kemudian hari. “Musik saya tak laku dijual karena merupakan eksperimen, analisa, dan konsentrasi,” kata Harry suatu ketika.
Kemudian Harry belajar musik di Rotterdam Conservatorium yang diselenggarakan pada 1981. Dia juga aktif di Departemen Musik Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Rumahnya pun dijadikan markas Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB), dengan kegiatan musik perkusi, band, rekaman musik, dan kegiatan lainnya.
Bagi penggemar musik, apa yang disuguhkan Harry memang sesuatu yang aneh. Peralatan yang dipakai pun terbilang ganjil. Sebut saja drum, gitar, gong, botol, kaleng rombeng, pecahan beling, dan kliningan kecil.
Nama Harry sendiri mulai dibicarakan saat awal 1970-an, bersama Albert Warnerin, Indra Rivai, dan Iwan A. Rachman. Saat itu mereka membentuk Gang of Harry Roesli. Tetapi kelompok musik ini bubar pada 1975, karena para pemainnya berkeluarga.
Selain membuat band, Harry juga mendirikan kelompok teater yang diberi nama Ken Arok pada 1973. Grup ini lalu mementaskan Opera Ken Arok pada Agustus 1975 di Taman Ismail Marzuki atau TIM, Jakarta. Dua tahun kemudian kelompok itu bubar lantaran Harry belajar ke Belanda.
Meski mendapat beasiswa dari Ministerie Cultuur, Recreatie en Maatschappelijk Werk (CRM) ketika belajar di Belanda, kebutuhan sehari-harinya tidak terpenuhi. Cucu Marah Roesli, pengarang roman Siti Nurbaya ini pun, kemudian bermain piano di restoran-restoran Indonesia atau main band dengan anak-anak keturunan Ambon di sana.
Saat pulang liburan, ia menikah dengan Kania Perdani Handiman. Nia pun sempat diboyong ke Belanda. Dari pernikahan itu, Harry dan Nia dikaruniai anak lelaki kembar, yakni Patria Khrisna Parama dan Layana Khrisna Parama pada 1982.
Sebagai seorang musisi, musik yang diciptakan Harry antara lain 'Rumah Sakit', 'Parenthese', 'Sakit Gigi', 'A.I.R Opera Ikan Asin', dan 'Opera Kecoa'. Selain itu, menurut IMDb Harry Roesli juga tercatat sebagai komposer dalam film Suamiku Sayang (1990), Si Kabayan Mencari Jodoh (1994), dan Suci Sang Primadona (1977).
PUSPITA AMANDA SARI berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Mengenang Harry Roesli dan Jejak Pengaruhnya di Budaya Musik Kontemporer