TEMPO.CO, Yogyakarta - Film dokumenter berjudul RELA yang digarap mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Bagaskara Dwitya Bima Asmara menorehkan prestasi di kancah internasional. Film yang digarap di luar tugas perkuliahan tersebut masuk dalam ajang Kota Kinabalu Internasional Film Festival (KKIFF) yang dihelat di Malaysia pada 7-15 September 2024.
Sinopsis RELA
Film ini mengangkat cerita nyata perjalanan hidup yang dijalani nenek Bagas sendiri. Film ini menceritakan tiga fase kehidupan yang diarungi sang nenek. “Saya sengaja mengambil sudut pandang nenek yang sudah mengalami banyak kejadian kehilangan dalam proses hidupnya," kata Bagas, Selasa 17 September 2024.
Kehilangan di sini, tak serta merta merujuk definisi meninggal dunia. Namun juga bisa soal pilihan pilihan menjalani hidup.
Fase pertama, kata Bagas, neneknya 'kehilangan' ibu Bagas yang memilih jalan hidupnya sebagai mualaf. Sang nenek pun belajar menerima pilihan pilihan hidup anaknya ketika sudah dewasa dengan besar hati tanpa harus kehilangan rasa cinta.
Lalu di fase kedua, nenek itu kehilangan suaminya karena meninggal dunia. Bagian ini menyorot laku hidup sang nenek sebagai manusia yang berusaha berjuang menerima takdir. Bagaimana harus belajar kembali beradaptasi dengan kebiasaan kebiasaan baru.
Fase terakhir, nenek itu menjalani proses kesendirian di masa tuanya. Yang lebih menyorot proses sang nenek mencoba menerima kenyataan bahwa manusia hakikatnya harus siap dalam keadaan bersama maupun sendiri.
Mahasiswa UMY Bagaskara saat presentasi film Rela di Ajang Kota Kinabalu International Film Festival Malaysia. Dok.UMY
Pesan Film Dokumenter RELA
Melalui film dokumenter ini, Bagas mengaku mencoba menyampaikan pesan tentang manusia yang harus siap untuk menerima takdir dan rela. Sebagaimana jalan hidup yang ia yakini sudah ditentukan.
“Pada akhirnya setiap manusia lambat laun akan mengalami masa tua. Mulai Kelahiran, kematian, dan jodoh adalah sebuah takdir sehingga kita sebagai manusia harus siap menerima takdir yang sudah ditetapkan,” kata dia.
Bagas menjadikan film dokumenter ini sebagai arsip keluarga. Ia ingin keturunannya dapat mengenang dan mengetahui kisah inspiratif dari keluarganya.
Setelah melewati berbagai suka dan duka dalam pembuatan film RELA, kisah hidup keluarga Bagas berhasil diputar di kancah internasional dan memberikan rasa bangga tersendiri bagi keluarganya. Bagas juga menambahkan bahwa pengalaman berharga yang didapatkannya adalah dengan diberi kesempatan untuk bertemu sineas dari berbagai negara dan mendapatkan keleluasaan presentasi di forum internasional.
“Pada saat pembuatan film dokumenter ini, saya merasa terombang-ambing antara perasaan dan eksplorasi karena karya ini juga mengungkit perihal kisah masa lalu," kata dia. Karena itu, kata Bagas, ia berusaha membuat film ini juga tetap dapat menjaga perasaan keluarganya.
Kepala Program Studi Ilmu Komunikasi UMY Fajar Junaedi menuturkan, mahasiswa memiliki kesempatan luas mengeksplorasi berbagai sudut pandang kehidupan dalam sebuah karya. Salah satunya film dokumenter. "Mahasiswa bisa mengikuti berbagai kompetisi, festival, konferensi akademik dan sebagainya untuk membangun atmosfer akademik, ini bagian berproses," kata dia.
Pilihan Editor: Dokumenter Suzzanna: The Queen of Black Magic akan Tayang di Sitges Film Festival 2024