TEMPO.CO, Jakarta -Arswendo Atmowiloto merupakan seorang jurnalis, penulis novel, penulis buku, penulis skenario ternama di Indonesia. Arswendo Atmowiloto lahir pada 26 November 1948 di Solo, Jawa Tengah.
Mengutip Ensiklopedia Sastra Indonesia, Arswendo dikenal sebagai pengarang serba bisa dan sebagian besar karyanya berupa novel. Isi ceritanya bernada humoris, fantastis, spekulatif, dan suka bersensasi, seperti novel Surkumur, Mudukur, dan Plekenyun (1995) yang ditulis ketika ia berada dalam tahanan karena kasus tabloid Monitor.
Sejak merintis awal kariernya pada 1971, Arswendo telah banyak melahirkan karya. Dia juga menulis beberapa cerpen, yang kemudian dikumpulkan dalam satu buku, antara lain berjudul Surat dengan Sampul Putih (1979), Telaah tentang Televisi (kumpulan cerpen 1986) dan Pelajaran Pertama Calon Ayah (kumpulan cerpen, 1981).
Baca juga : Mengenang 74 Tahun Arswendo Atmowiloto: Novelis dan Pengarang Serba Bisa Sejak 1980-an
Ketika berada di dalam tahanan karena kasus tabloid Monitor, ia pun menulis novel bernada absurd, humoris, dan santai. Jenisnya, antara lain tentang kehidupan orang-orang tahanan beserta masyarakat umum di ibu kota yang mengalami keputusasaan menghadapi situasi yang sulit.
Novel-novel itu berjudul (1) Abal-Abal (1994), (2) AUK (1994), (3) Surkumur, Mudukur, dan Plekenyun (1995), dan Tiga Cinta Satu Pria (2008).
Arswendo Atmowiloto penulis cerpen, puisi, cerita anak, sandiwara, dan artikel tentang kebudayaan. Karyanya telah dimuat dalam berbagai media massa, antara lain Kompas, Sinar Harapan, Aktual, dan Horison. Karangannya, antara lain, diterbitkan oleh penerbit Gramedia, Pustaka Utama Grafiti, Ikapi, dan PT Temprint.
Novel dan Keluarga Cemara Menjadi Karya Tersukses
Arswendo juga dikenal sebagai penulis skenario serial TV apik. Ada beberapa serial TV hits dari buah karyanya, salah satunya Keluarga Cemara.
Berawal dari novel atau cerita bersambung populer yang terbit di majalah Hai sekitar empat dekade lalu, Keluarga Cemara makin mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia sejak tayang jadi serial TV selama hampir sembilan tahun, sejak 1996 hingga 2005.
Mengutip Koran Tempo Edisi Desember 2018, serial ini terdiri dari ratusan episode yang berkisah tentang keluarga Abah yang semula kaya raya tapi kemudian jatuh miskin karena ditipu karyawannya.
Serial Keluarga Cemara menjadi tontonan fenomenal ketika itu, bahkan hingga kini menjadi semacam ikon drama televisi keluarga Indonesia. Serial yang diadopsi dari novel karya Arswendo Atmowiloto ini mengawali cerita ketika Abah (diperankan Adi Kurdi), Emak (diperankan Lia Waroka, lalu diganti Novia Kolopaking, dan terakhir oleh Anneke Putri), serta kedua putri mereka, Euis dan Ara, terpaksa pindah ke rumah sederhana di desa dan hidup dengan bekerja serabutan.
Mengutip Gramedia.com, Keluarga Cemara merupakan karya Arswendo yang dikenal luas publik Indonesia. Bahkan, Harta Berharga, yang merupakan lagu tema serial TV dan film Keluarga Cemara, dinyanyikan oleh paduan suara Gereja Katolik Santo Matius, Tangerang, saat misa arwah jenazah Arswendo Atmowiloto pada Sabtu pagi, 20 Juli 2019.
Kemudian setelah sukses sebagai serial TV, Keluarga Cemara diadaptasi menjadi film layar lebar pada 2019. Sejak pertama kali dirilis, film ini sukses memikat 1,7 juta penonton ketika itu. Demikian jejak panjang Arswendo Atmowiloto.
KAKAK INDRA PURNAMA
Baca juga : Tangan Dingin Arswendo Atmowiloto Lahirkan Kisah Keluarga Cemara
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.