TEMPO.CO, Jakarta -Hari ini, tepatnya 26 November pada 1948 merupakan hari kelahiran novelis dan pengarang produktif Arswendo Atmowiloto. Dia merupakan jurnalis, penulis novel, penulis buku, skenario ternama yang berangkat dari cerpenis.
Arswendo dikenal sebagai pengarang serba bisa dan sebagian besar karyanya berupa novel. Isi ceritanya macam-macam. Dari yang serius seperti Senopati Pamungkas hingga bernada humoris, fantastis, spekulatif, dan suka bersensasi, seperti novel Surkumur, Mudukur, dan Plekenyun (1995) yang ditulis ketika ia berada dalam tahanan karena kasus tabloid Monitor yang pernah dipimpinnya di era Orde Baru.
Profil Arswendo Atmowiloto
Mengutip Ensiklopedia Sastra Indonesia, Arswendo Atmowiloto lahir pada 26 November 1948 di Solo, Jawa Tengah. Setelah lulus sekolah menengah atas, ia masuk ke Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra, IKIP Solo, namun tak tamat.
Dia keluar dari kuliahnya itu kemudian bekerja di pabrik bihun dan pabrik susu. Dia pernah juga bekerja sebagai penjaga sepeda dan sebagai pemungut bola di lapangan tenis karyawan Pabrik Gula.
Baca juga : Tangan Dingin Arswendo Atmowiloto Lahirkan Kisah Keluarga Cemara
Mengutip Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Aswendo awalnya bercita-cita menjadi dokter, tetapi tak tercapai. Dia pernah mengikuti program penulisan kreatif di Lowa University, Amerika Serikat.
Arswendo Atmowiloto mempunyai nama asli Sarwendo. Nama itu kemudian diubah menjadi Arswendo karena dianggap kurang komersial. Lalu, di belakang namanya itu ditambahkan nama ayahnya, Atmowiloto, sehingga namanya menjadi apa yang dikenal luas saat ini.
Arswendo menikah dengan Agnes Sri Hartini pada 1971. Dari perkawinannya itu, mereka memperoleh tiga orang putra, yaitu Albertus Wibisono, Pramudha Wardhana, dan Cicilia Tecilia Tiara.
Perjalanan Arswendo Atmowiloto
Mengutip Ensiklopedia Sastra Indonesia, Arswendo mulai merintis kariernya sebagai sastrawan pada 1971. Cerpen pertamanya muncul berjudul Sleko, nama jalan di Stasiun Tawang, Semarang. Cerpen itu dimuat dalam majalah Mingguan Bahari. Di samping menulis, ia juga aktif sebagai pemimpin di Bengkel Sastra Pusat Kesenian Jawa Tengah, Solo, pada 1972.
Setelah itu, dia bekerja sebagai konsultan penerbitan Subentra Citra Media pada 1974 hingga 1990, sebagai pemimpin redaksi dalam majalah remaja Hai, sebagai pemimpin redaksi atau penanggung jawab majalah Monitor pada 1986, dan pengarah redaksi majalah Senang tahun 1998.
Namun, ketika menjabat sebagai pemimpin redaksi tabloid Monitor, ia sempat ditahan dan dipenjara karena sebuah jajak pendapat yang kontroversial. Ketika itu, tabloid Monitor memuat hasil jajak pendapat mengenai tokoh pembaca. Arswendo terpilih menjadi tokoh nomor 10, satu tingkat di atas Nabi Muhammad SAW, yang terpilih menjadi tokoh nomor 11.
Namun, hal itu dianggap masyarakat sebagai tindakan melecehkan, karena membandingkan nama Nabi Muhammad SAW dengan pemimpin lainnya di dunia ini termasuk tindakan tidak benar. Sebagai akibatnya, tulisan itu dianggap subversi dan melanggar Pasal 156 A KUHP dan Pasal 157 KUHP.
Tabloid yang memuat artikel tersebut pun dilarang terbit dalam beberapa waktu lamanya. Setelah itu, Arswendo menyatakan penyesalannya dan meminta maaf kepada masyarakat melalui media TVRI dan beberapa surat kabar ibu kota.
Arswendo juga pernah mendapat kecaman, sekaligus dianggap sebagai pengkhianat karena pendapatnya dinilai keliru oleh para pengamat sastra. Aswendo berpendapat bahwa Sastra Jawa telah mati. Ia sangat menghargai penulis komik, khususnya komik wayang dan silat yang dianggap banyak berjasa dalam pendidikan anak.
Penghargaan
Arswendo Atmowiloto juga produktif menulis cerita anak, sandiwara, dan artikel tentang kebudayaan. Karyanya telah dimuat dalam berbagai media massa, antara lain Kompas, Sinar Harapan, Aktual, dan Horison. Buku-bukunya, antara lain, diterbitkan oleh penerbit Gramedia, Pustaka Utama Grafiti, Ikapi, dan PT Temprint.
Karena kepiawaiannya dalam menulis itu, Arswendo Atmowiloto telah banyak menerima penghargaan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Penghargaan itu di antaranya:
- Hadiah Zakse (1972) untuk esainya berjudul Buyung Hok dalam Kreativitas Kompromi.
- Hadiah Perangsang Minat Menulis dalam Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara DKJ (1972 dan 1973) untuk dramanya berjudul Penantang Tuhan dan Bayiku yang Pertama.
- Hadiah Harapan Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara DKJ (1975) untuk dramanya Sang Pangeran dan Sang Penasehat.
- Penghargaan ASEAN Award di Bangkok untuk bukunya Dua Ibu dan Mandoblang (buku anak-anak).
KAKAK INDRA PURNAMA
Baca juga : Suasana Haru Warnai Pemakaman Arswendo Atmowiloto
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.