TEMPO.CO, Yogyakarta - Musisi jalanan Seni Perlawanan oleh Rakyat (Spoer) mengeluarkan album perdana pada akhir 1999. Mereka membuat rekaman di Yogyakarta dalam bentuk pita kaset dengan judul album Kamuflase. Ada 10 lagu direkam dengan durasi 60 menit. Tak ada wajah-wajah personelnya dalam sampul kaset hitam putih itu, melainkan wajah anak jalanan yang tengah duduk memangku adiknya.
Spoer Rekam Album dalam Bentuk Kaset
Kaset itu dibawa ke Bandung untuk dicetak banyak pada tahun 2000. Ada sekitar 100 lebih kaset. Biaya penggandaan kaset diperoleh dari ngamen.
“Dari Jogja ke Bandung, mereka ngamen di bus, di kereta. Pulangnya ngamen lagi,” kata sastrawan asal Sumatera Barat, Raudal Tanjung Banua yang memberikan kesaksian dalam “#25TAHUNREFORMASI: Hari Tani dan 1/4 Abad Spoer” di halaman Gedung Kuliah Terpadu UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada Ahad, 24 September 2023 malam lalu.
Masa itu, Raudal adalah mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Angkatan 1997 yang bergabung dalam Serikat Mahasiswa untuk Kedaulatan Rakyat (SMKR). Setelah KPP bubar, kelompok musik itu menggunakan nama “Spoer” saja hingga kini. Lagu-lagu KPP itu pula yang dinyanyikan Spoer.
“Lagu-lagu KPP itu semacam gono gini. Siapapun boleh pakai,” kata sesepuh dan vokalis Spoer, Dodok Jogja kepada Tempo, Selasa, 26 September 2023.
Imbas Ketenaran Spoer
Usai punya album, Spoer pun menjadi terkenal. Mereka sering diminta manggung. Bahkan Spoer dianggap kelompok pengamen tiga besar yang merajai Malioboro, bersama KPJM (Kelompok Pengamen Jalanan Malioboro) dan Girli. Suara mereka juga mengumandang di radio.
“Tapi yang disetel di radio hanya lagu-lagu kritik sosial yang tidak galak,” kata Dodok, seperti “Lagu Sederhana” buatan Iik.
Ketenaran itu membuat personelnya terpecah. Dodok menyebutnya dengan istilah “star syndrome”. Ada yang ingin tenar seperti Slank. Ada yang ingin tetap membumi. Meskipun sama-sama mengklaim nanti akan punya massa.
“Kalau terkenal, kan massanya sebatas fans fanatik. Bukan massa yang terdidik dan terorganisir,” kata Dodok.
Sekitar 2001-2002, sebagian personel Spoer memilih tidak aktif. Ada yang kembali ke daerah asal, anggota lain melakukan pengorganisiran di daerah lain, dan member lainnya fokus bekerja. Dodok termasuk yang memilih hengkang ke Jakarta untuk melakukan pengorganisiran kaum miskin kota di sana, ke Porong Sidoarjo, dan tempat lain.
Di masa itu, Spoer dengan personel yang ada sempat mengeluarkan album kedua. “Tapi tidak terkenal. Salah satu lagunya ada 'Mars Perempuan',” kata Dodok.
Soal lagu-lagu Spoer pun, Dodok punya cerita. Zaman Orba hingga peralihan ke reformasi, konon lagu-lagu Spoer menjadi salah satu patokan untuk merekrut mahasiswa menjadi aktivis. “Kalau mahasiswa itu jingkrak-jingkrak saat Spoer main, itu yang dicomot jadi kader karena dianggap tertarik atau ngerti isi liriknya,” kata Dodok.
Pilihan Editor: Spoer, Kisah 25 Tahun Kelompok Musisi Jalanan yang Lahir Zaman Orba