TEMPO.CO, Yogyakarta - Kelompok musik jalanan Seni Perlawanan oleh Rakyat alias Spoer kembali merayakan ulang tahunnya menjelang tahun politik. Kelahirannya dirayakan dengan pentas di Kampus YKPN Yogyakarta pada Desember 1998. Saat itu pascalengsernya Soeharto pada Mei 1998 dan menuju pergantian rezim dalam Pemilu Oktober 1999.
Perayaan 25 Tahun Spoer seperti Dejavu
Dalam usia 25 tahun, Spoer merayakannya dengan manggung di halaman Gedung Kuliah Terpadu UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada Ahad, 24 September 2023 malam lalu. Acaranya bertajuk “#25TAHUNREFORMASI: Hari Tani dan 1/4 Abad Spoer”. Mereka memilih momentum Hari Tani untuk merayakannya. Bukan bertepatan bulan Desember 2023 nanti.
“Karena kalau Desember kan mendekati tahun politik (jelang Pemilu 2024),” kata pentolan dan sesepuh Spoer, Dodok Jogja kepada Tempo, Selasa, 26 September 2023. Kendati dirayakan tidak bertepatan di hari kelahirannya, suasana malam itu seperti dejavu.
Spoer tak ingin perayaannya dipolitisir oleh partai-partai politik atau pun para calon presiden untuk berkampanye. Meskipun Spoer pun menyatakan tak menolak apabila mereka diundang tampil di panggung-panggung kampanye parpol atau pun capres. “Mau, asal bebas untuk kampanye golput,” seru Dodok kemudian tertawa.
Kelahiran Spoer Berkaitan Pergantian Rezim
Kelahiran Spoer tak lepas dari kondisi politik Orde Baru. Banyak demonstrasi mahasiswa yang menuntut Presiden Soeharto turun karena 32 tahun kekuasaannya yang menyengsarakan rakyat. Utang negara bertumpuk, kemiskinan di mana-mana.
Di Yogyakarta, tak hanya mahasiswa yang membentuk organisasi-organisasi untuk menyerukan tuntutan itu. Tak terkecuali pengamen dan kaum miskin kota. Bermula dari kelahiran Komunitas Pengamen Progresif (KPP) yang di dalamnya ada divisi seni, baik seni musik maupun teater. Spoer adalah bagian di dalamnya.
Dodok bergabung menjelang KPP bubar. Ia masih naik turun bus Kopata Jurusan 3 dan colt Kobutri jurusan 16 untuk mengamen bersama Iik, gitaris pertama Spoer, Sindu vokalisnya, juga Totok yang mencetuskan nama Spoer. Titik kumpulnya di pertigaan IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN Sunan Kalijaga) yang kemudian dikenal dengan sebutan pertigaan revolusi. Lantaran di sana salah satu titik mahasiswa berdemonstrasi, bahkan hingga chaos dengan aparat keamanan. Jalan itu jadi akses utama menuju Bandar Udara Adisutjipto dari jalur kota.
“Gara-gara chaos, aku nggak bisa ngamen,” kenang Dodok, karena angkutan umum terhalang mobilitas ke sana.
Lagu-lagu Kritik Sosial
Bukan marah, Dodok justru tertarik ikut berorganisasi seperti teman-teman pengamen lainnya. Apalagi sejak awal ngamen, ia selalu menyanyikan lagu-lagu berisi kritik sosial di atas bus. Sebut saja lagu-lagunya Iwan Fals, Elpamas, Gombloh, juga Koes Plus. Lalu bergabunglah ia ke dalam KPP sebelum 1998, tampil nyanyi di sela demonstrasi. “Yang dinyanyikan lagu-lagu KPP. Gengsi nyanyiin lagu-lagu orang lain,” kata Dodok.
Pilihan Editor: Kelompok Penyanyi Jalanan Bandung Rilis Album Kompilasi Musik Trotoar