Pementasan sebagai bagian dari rangkaian peringatan hari jadi Tempo ke-40 ini akan berlangsung pada 23-24 April mendatang di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat. “Kali ini pendekatannya lebih puitik dan imagestik,” kata Goenawan Mohamad, sutradara Opera Tan Malaka.
Imajinasi lebih ditekankan dalam pertunjukan ini. Dan koreografi dinilai menjadi elemen yang penting. Oleh karena itu, dalam pertunjukan kali ini dilibatkan banyak penari. Fitri Setyaningsih, koreografer pertunjukan ini, akan mengusung sekitar 20 penari dari Solo, Jawa Tengah.
Misalnya, dalam adegan keriuhan pengungsi. Dalam pertunjukan perdana pada Oktober tahun lalu, para pengungsi diperankan oleh kelompok teater Ciliwung, Jakarta, dengan bahasa tubuh yang konkrit. Koreografi Fitri bertugas menjelaskan adegan-adegan itu dalam kosa-gerak tari. Penambang, pengungsi, dan rakyat memerankan aktivitas yang tak sekadarnya. "Saya punya porsi koreografi yang lebih banyak di sini," ujar Fitri. “Gerak tari nantinya lebih konteks dengan naskah Tan.”
Bahkan, saat bagian overture musik yang pada waktu lalu tak ada aktivitas panggung, kali ini Fitri akan menyertakan adegan koreografi bertema buku dan topi. Buku menjadi ide karena selain penulis, Tan adalah pembaca yang baik.
Opera Tan Malaka merupakan kolaborasi kesekian kalinya antara komponis Tony Prabowo dan librettist Goenawan Mohamad. Sebagai sebuah perkawinan antara musik dan sastra, Opera Tan Malaka menunjukkan kekhususannya sebagai sebuah “opera-esai”.
Pertunjukan ini berkisah tentang penegasan riwayat Tan atas ketidakhadirannya. Tidak ada dialog karena Goenawan menyusun naskah tanpa alur cerita. Tak ada penokohan di sana. Yang ada adalah penutur dan pendendang aria.
Semua aktor hanya bertutur. Ketiadaan dialog, tentu saja, menuntut kreativitas sendiri dalam membangun dramaturgi. Memang, jika didengarkan sekilas, repertoar-repertoar ini sungguh berat.
Aktor Landung Simatupang kali ini menggantikan peran Adi Kurdi sebagai penutur. Bersama Whani Darmawan, mereka berdua akan menyampaikan libretto (dialog yang dinyanyikan) yang ditulis oleh Goenawan. Teks-teks itu diucapkan bersilangan atau bisa juga paralel satu sama lain.
Digantikannya Adi Kurdi oleh Landung disesuaikan dengan konsep baru yang akan diusung dalam pertunjukan nanti. Landung, menurut Goenawan, lebih sesuai memerankan penokohan puitik.
Berbeda dengan Adi yang lebih lihai membawakan peran-peran konkrit karena komposisinya menuntut demikian. "Isinya memang tidak beda, tetapi penyampaiannya mungkin akan berbeda," Goenawan menjelaskan.
Bagi Landung, pemeranan yang lebih banyak pada narasi semacam ini tak lagi asing untuknya. Tak sulit bagi Landung untuk menarasikan libretto yang lebih mengungkapkan gagasan Goenawan akan tokoh Tan Malaka. Justru yang menjadi tantangan adalah bagaimana ia menjembatani gagasan itu supaya bisa dicerna oleh penonton. "Saya tak lebih sebagai penjembatan agar narasi ini memiliki efek renungan untuk audiens," ujar Landung.
Pendendangan aria masih dibawakan oleh penyanyi duo soprano, Binu Sukarman dan Nyak Ina Raseuki (Ubiet). Seperti para penutur, mereka juga mendendangkan aria-aria secara berseberangan.
ISMI WAHID | NUNUY NURHAYATI