Sekitar lima tahun lalu, Simon Hureau--pemuda Prancis yang juga komikus--melakukan perjalanannya ke Bali dan Yogyakarta. Lelaki berkaca mata bundar itu menorehkan momen-momen menarik selama perjalanannya dalam halaman komik ataupun karikatur. Karya Simon tersebut kini tengah dipamerkan di Pusat Kebudayaan Prancis (CCF) Jakarta, hingga 12 Februari nanti. Setelah itu, pameran tersebut juga akan diselenggarakan di Surabaya dan Bali.
Pameran bertajuk Fragments itu sepertinya tepat mewakili karya yang ditampilkan. Simon menjajar beberapa kisah pendek pada halaman-halaman komik. Tidak tuntas memang, tapi cukup mewakili bangunan cerita.
Yang menarik dalam pameran ini adalah bagaimana kita melihat persepsi komikus Prancis itu terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Bagaimana ia memindahkan momen yang, menurut dia, menarik ke bidang gambar dan menyusunnya dalam bagan cerita.
Kita akan melihat 10 halaman komik Simon berjudul La Fracassee Insouciante, yang diterbitkan untuk komik Formol. Ini bercerita tentang kenangan Simon akan pantai Sanur di Bali yang, menurut dia, sangat istimewa. Simon menempatkan sosok dirinya dalam cerita itu. Ia bersama seorang wanita menikmati pantai yang indah, mengagumi perahu-perahu nelayan, hingga menangkap obyek ritual upacara keagamaan di sana.
Simon menggambarkannya dengan detail. Bahkan pedagang asongan ia visualisasi dengan cermat. Ada merek rokok tertulis di kotak asongan itu.
Banyak momen di Bali yang ia visualisasi, termasuk suasana jalan raya dengan berbagai ragam tikungannya. Pada Attentifs Ensemble (Details de La Circulation Balinaise), misalnya, Simon memperlihatkan patung berbentuk polisi di tengah-tengah perempatan besar. Menurut Simon, pemandangan itu tak ia temukan di negaranya.
Lalu ada halaman komik berjudul Les Joujous Jes Fideles, yang bercerita tentang kumbang. Dua halaman itu memperlihatkan bagaimana turis dan wanita Bali memperlakukan serangga kecil itu. Turis asing menjerit-jerit tak keruan karena gaunnya dihinggapi binatang kecil tersebut. Lain halnya dengan wanita Bali, mereka memperlakukan kumbang itu dengan sangat akrab, menjadikannya benda mainan.
Simon sangat cermat menangkap segala sesuatu. Ia menggambarkan dengan detail bentuk sesajian yang bertebaran di sepanjang jalan atau di setiap sudut Bali.
Bahkan, ketika ia berada di Yogyakarta, dalam gambarnya ia memvisualisasi seorang wanita tua yang sedang menggendong bakul. "Dia sosok yang mengagetkan dan mengagumkan. Image-nya menjadi ikon baru bagi saya. Sangat menarik," ujar Simon.
La Vieille, begitulah ia memberi judul gambar wanita tua buruh gendong itu. Wajah rapuh dengan kerut kisut, berbaju kebaya lusuh. Wanita sepuh itu tak beralas kaki dan menenteng keranjang dari anyaman pandan.
Setiap benda yang digambarkan selalu diberi keterangan oleh Simon. Misalnya gambar gerobak nasi goreng. Seperti yang pernah kita lihat pada kartun yang dibuat oleh Benny dan Mice dalam seri 100 Tokoh Jakarta, Simon menggambar penjaja nasi goreng beserta gerobak dan isinya yang dibubuhi keterangan gambar di sana-sini. Atau, kita lihat gambar gerobak angkringan yang dibuat olehnya. Lengkap dengan segala jajanannya. Kedua gambar tersebut diberinya judul Warung.
Simon juga menyajikan gambar alat transportasi seperti becak dan andong. Bahkan ia juga memvisualisasi Pasar Burung Ngasem, Yogyakarta, dengan Le Marche Aux Oiseaux.
Boleh dibilang, karya-karya Simon menunjukkan tingkat detail yang tinggi. Torehan garis yang membentuk image sangat kuat. Tak mengherankan jika ia mengagumi komikus lain, seperti Daniel Clowes, Julie Doucet, Chris Ware, ataupun Charles Burns. Ekspresi mereka menangkap sebuah benda sangat cermat.
Selain perjalanan Simon ke Bali dan Yogyakarta, dalam pameran tersebut ditampilkan beberapa bagian halaman komik yang telah dipublikasikan. Hanya seluruh percakapan dalam cerita komik itu ditulis dalam bahasa Prancis tanpa terjemahan. Tapi tidak mengapa, toh konsistensi ini akan menjaga orisinalitas.
Pengumpul Kecoa
Komikus Simon Hureau, yang pernah meraih penghargaan dalam Festival Angouleme lewat kumpulan komik berjudul Palace, tak pernah meninggalkan buku harian dalam setiap perjalanannya. Ketika melihat buku bersampul hitam itu, jangan dibayangkan penuh berisi huruf dan tulisan, tapi justru kumpulan gambar. "Saya lebih bisa bercerita dengan gambar dibanding tulisan," ujar Simon.
Tiap melihat ikon yang menarik, ia langsung menggambarnya dalam buku harian itu. Dalam halaman gambar sesaji Bali, misalnya, ia sampai harus menempelkan ujung hiasan janur yang menjadi tempat sesajian itu. "Bentuknya unik," katanya.
Bahkan kecoa, bangkai tikus, kadal, cicak, ataupun ular, yang sudah dipipihkan dan dikeringkan, ikut menjejali halaman buku hariannya. "Saya tidak jijik. Justru ini menarik bagi saya," ujarnya berseloroh.
Boleh jadi, begitulah cara dia menjaga detail dalam gambar. Atau, itu bisa jadi kenang-kenangan indah baginya. Ah, ada-ada saja.
ISMI WAHID