TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Ratusan patung kepala anak-anak terserak di lantai membentuk barisan. Mata dan mulut mereka terbuka lebar, seperti sedang mengajak dialog. Di bagian belakang, patung wajah anak-anak itu pelan-pelan seperti melayang hingga ke atap bangunan.
Melalui karyanya yang berjudul Menggantung perupa I Made Supena, 40 tahun, mencoba merespon persoalan anak-anak di Bali. Patung kayu berjumlah 137 buah ini menjadi salah satu karya pameran tunggalnya yang bertajuk Genealogi di Jogja Gallery, 28 April hingga 23 Mei 2010.
Lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar ini mengaku prihatin dengan kondisi anak-anak di Bali belakangan ini. “Di Bali, banyak anak-anak yang bunuh diri hanya karena persoalan sepele. Persoalan seragam dan sepatu sekolah saja sudah bisa menjadi alasan untuk bunuh diri,” katanya saat ditemui di ruang pamer, pekan lalu.
Keprihatinan Supena terhadap dunia anak-anak di Bali juga dituangkan dalam Emosi II. Karya ini berupa 25 buah patung wajah anak-anak dengan berbagai ekspresi yang dijajar di lantai. “Ini potret social anak-anak di Bali yang sedang menjerit karena tertekan,” jelasnya.
Sebagai perupa, Supena hanya mengekspresikan perasaannya tentang dunia anak-anak di Bali. Ia bahkan mengaku tidak mengetahui akar persoalannya. “Siapa yang salah? Apakah dunia pendidikan? Atau justru kultur masyarakat Bali yang sudah berubah,” ujarnya. Bagi Supena, anak-anak sekaligus simbol regenerasi. Itu sebabnya, banyak karya dua dimensinya yang dipamerkan kali ini menghadirkan wajah anak-anak dalam berbagai ekspresi.
Pemeran tunggal ini memang dimaksudkan untuk memaparkan proses kreatif I Made Supena selama sepuluh tahun terakhir. Proses kreatif Supena itu bisa dilacak mulai dari karya-karya awalnya berupa sketsa tentang tokoh-tokoh dunia pewayangan Bali hingga karya terakhirnya berupa ratusan patung kepala anak berbahan kayu Suwar, kamboja dan Sonokeling.
Patung-patung itu juga sekaligus menjadi bukti proses regenerasi pada keluarganya. Meski awalnya Supena lebih menekuni karya-karya dua dimensi, belakangan ia tak mampu mengelak dari keinginan membuat karya tiga dimensi yang sebenarnya sudah ditekuninya sejak kecil. I Ketut Muja, ayah Supena, merupakan salah satu pematung terkenal di Bali. Dua saudara Supena juga menjadi pematung terkenal di Bali.
Selain menghadirkan wajah anak-anak dalam karya dua dimensi, Supena juga beberapa kali mengambil fenomena alam sebagai obyeknya. Misalnya, gunung Agung di Bali dan Candi Borobudur di Jawa Tengah. Anehnya, Supena justru mencoba mengungkap misteri di balik dua benda alam yang menakjubkan itu.“Bagi saya, Borobudur menghadirkan sesuatu yang lentur dan bijak di balik sosoknya yang besar dan kaku,” katanya.
Namun, bagi kurator Hardiman, kehadiran patung anak-anak-meski hanya dua karya dibanding puluhan karya dua dimensi-- justru menjadi penegas bagi proses kreatif Supena. “Di ruang pameran, subyek anak, dengan demikian, bisa hadir sebagai sang imperior, juga hadir sebagai sang superior yang bekerja dalam horizon harapan kita,” tulisnya salam katalog pameran.
Heru CN