Visual sebagai simbol fitrahnya adalah sebagai dua sisi mata uang, yakni kemampuannya menyatakan kebenaran dan kebohongan. Dua sisi mata uang tersebut bisa mengendalikan satu sisi menentukan sisi yang lainnya dan sebaliknya. Sehingga kesadaran visual sebenarnya bisa dipertanyakan ulang, yang kemudian juga di saat yang bersamaan mempertanyakan ulang tentang pengalaman.
Keseharian kota pada dasarnya lebih banyak ditangkap melalui pengalaman visual. Bahkan kultur industri media massa yang memobilisisasi ragam visual, intensitasnya telah menjadi bahan acuan kita dalam memandang realitas kota.
Sejauh mata memandang di dalam ruang kota adalah pamflet dan iklan, dan kesadaran masyarakat kota menjadi pantulannya. Sehingga relasi konsumsi menjadi “obyektivitas semu” dalam relasi antar manusia dan masyarakat.
Mempertanyakan ulang keseharian kota adalah mengkonstruksi ulang bingkai visual. Setidaknya merekam dan mengedit visual adalah mengenali dibalik kecederungan alamiah visual ada kuasa nilai bahkan institusi.
Mengembalikan fitrah visual sebagai ketaksaan, sebagai upaya membangun spiritualitas kedua dari visual sebagai “yang benar” atau “yang bohong”. Dari sini, pengalaman sebenarnya bisa menjadi sesuatu yang lebih “tebal” dibanding pengetahuan, setelah atas nama “efisiensi” dalam term modern ternyata juga tidak pernah bisa raba.
Pameran yang menampilkan karya para seniman visual, antara lain, Akbar Yumni, Adel Maulana Pasha, Bagasworo Aryaningtyas, Gelar Agryano Soemantri, dan Syaiful Anwar ini berlangsung di Pusat Kebudayaan Prancis, Jalan Salemba Raya No. 25, Jakarta Pusat.
Nurdin Kalim