TEMPO.CO, Yogyakarta - Kelompok musik bergenre humor masih terus eksis di Yogyakarta di tengah gempuran genre dangdut, electone, dan sejenisnya. Jika dulu publik mengenal nama nama seperti Sri Redjeki, Sastro Moeni, Kronchonk Chaos, atau The Produk Gagal, saat ini ada orkes humor bernama Poem Bengsin yang aktif tampil dari panggung ke panggung baik Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Mengusung tema musik humor yang mempunyai gaya khas unik dan nyeleneh ketika tampil di atas panggung, Poem Bengsin kerap membuat para penonton setianya tergelak saat tampil.
15 Anggota Orkes Humor Poem Bengsin
Poem Bengsing sendiri beranggotakan 15 personel. Mereka adalah Andre/Tikus sebagai pembaca puisi, Agung, Brily, Kopong, Tama di vokal, Ardhani pemain bas, Hanz dan Djenar memetik gitar, Kris penggebuk drum, Beni memainkan kendang. Selain itu ada pula Kelik diposisi ukulele, Alan bermain keyboard, Dwijayanti/Dije vokal 2 dan simbal, Gurit, Dram pengebuk Elektrik, dan Madha bermain piano dan seruling.
Salah satu penampilan unik kelompok ini saat tampil dalam peringatan Hari Literasi Internasional dan Jogja Book Fair 2024 yang digelar di halaman Kantor Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah (DPAD) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Selasa petang, 17 September 2024.
Kostum dari Koran Bekas untuk Hari Literasi Internasional
Dalam aksi panggungnya malam itu, Poem Bengsing manfaatkan surat kabar atau koran bekas untuk kostum. Seluruh personel mengenakan jubah dan asessoris koran yang dibuat sedemikian rupa. Bahkan, alat musik seperti gitar juga dikonsep dengan balutan koran.
Aksi Grup Orkes Humor Poem Bengsin Yogyakarta di Hari Literasi Internasional dan Jogja Book Fair 2024 Selasa (17/9). Tempo/Pribadi Wicaksono.
"Koran kami gunakan sebagai kostum untuk simbol pentingnya literasi dengan membaca berita di media massa," kata vokalis Poem Bengsing, Andre Surawa di sela aksi panggungnya.
Koran dipilih sebagai bahan dasar membuat kostum pertunjukkan band tersebut tidak sekadar iseng. Mereka menilai surat kabar merupakan media literasi dan juga jendela informasi yang kehadirannya perlu untuk diapresiasi.
"Dengan membaca berita yang terpercaya, kita tidak kuper (kurang pergaulan) dan bodoh, kita bisa tahu bagaimana informasi yang terus bergerak cepat," kata dia.
Andre mengatakan kelompok musiknya berupaya mengikuti tema setiap event yang dihadiri. Namun tetap dengan konsep dan gaya pertunjukkan ala Poem Bengsing. "Bagi kami skill nomor 10, pertama tetap Ketuhanan yang Maha Esa," kata dia berseloroh.
Tak sekedar nyeleneh. Band ini berangkat dari sastra dan seni sebagai basicnya. " 'Poem' itu berarti puisi 'Beng' merupakan penyebutan kata band logat Jawa dan 'Sing' adalah bernyanyi," tutur Andre, seniman yang terkenal dengan julukan Tikus itu.
Menurutnya, keikutsertaanya dalam menyemarakan Hari Literasi Internasional merupakan suatu keharusan. Sebagai band yang banyak melahirkan karya dari puisi-puisi, sudah sepantasnya mereka hadir untuk mengusung isu literasi.
Selalu Tampil Total
Salah seorang penonton asal Pundong, Bantul Teguh Makaryo mengatakan tidak mengira bahwa penampilan band tersebut sangat total dan menghibur. "Gokil, nyleneh tapi tidak melupakan estetika baik secara penampilan maupun gagasannya yang kuat," ujarnya.
Ia menilai kelompok musik seperti itu khas dengan ekosistem Jogja. Selain menghibur dengan musik melalui karyanya, juga menyampaikan pesan-pesan dan isu dengan cara yang unik.
Manajer Poem Bengsing, Rizky Wahyu menjelaskan Poem Bengsing akan selalu tampil secara total. Artinya di manapun tempat dan acaranya band ini tetap akan menghibur sesuai dengan permintaannya.
"Yogyakarta selalu butuh sesuatu yang segar agar tidak membosankan, karena peminat musik di sini umumnya adalah pelajar dan mahasiswa yang selalu butuh kebaruan dan yang khas sekaligus unik," kata dia.
Pilihan Editor: Bersama Erwin Gutawa, Kunto Aji Rilis Ulang Lagu Pilu Membiru Versi Orkestra