TEMPO.CO, Jakarta - Sutradara film pendek, Where The Wild Frangipanis Grow, Nirartha Bas Diwangkara mengungkapkan tantangan yang dihadapinya selama syuting. Film pendek ini akan menggelar world premiere di Busan International Film Festival pada 4 sampai 13 Oktober 2023.
Film yang digarap bersama sineas senior, John Badalu ini mengambil latar kehidupan spiritual di Bali. Otomatis lokasi syuting yang dituju tidak bisa sembarang tempat lantaran harus memiliki unsur keagamaan, seperti ashram dan sungai.
Dikenal sebagai tempat pariwisata, Nirartha menyebut bahwa Bali sebenarnya menyodorkan banyak sekali opsi. Ia dan tim juga banyak berdiskusi demi memutuskan tepat yang lebih bagus, tetapi belum bisa dipastikan juga finalisasinya.
Tak Semua Ashram Hindu di Bali Beri Izin Syuting
“Setelah itu (pilih lokasi) juga belum tentu tempat yang kita pilih pada akhirnya memberikan izin kepada kita. Tapi, untungnya kami mendapatkan support dari beberapa tempat untuk memberikan izin kami syuting di sana,” kata Nirartha dalam konferensi pers yang digelar secara daring pada Rabu, 23 Agustus 2023.
Tak hanya tantangan secara fisik, Nirartha juga mengalami pergolakan batin. Musababnya, film yang mengangkat tema kekerasan seksual itu lingkungan ashram di Bali itu berdasarkan kisah nyata yang sudah diketahui secara umum di negara Pulau Dewata ini. Ia melihat tak ada dorongan nyata masyarakat Bali terhadap penyelesaian masalah kekerasan seksual di lingkungannya.
Menjadi seorang yang lahir dan besar di Bali, Nirartha juga hidup di keluarga pandita Hindu sehingga terbiasa melihat pelayanan keluarganya kepada umat. Namun, ia tidak selalu melihat kondisi itu dari kacamata positif. Terkadang ada sisi-sisi yang tidak dibahas di situ.
“Karena kita sangat dekat dengan dunia pariwisata, kita selalu jaga nama baik Bali. Nah, isu tentang kekerasan seksual yang memang ada di film ini dan relasi kekuasaan, sangat kuat di Bali,” tutur Nirartha.
Sikap Diam Masyarakat Bali terhadap Kekerasan Seksual Demi Jaga Pariwisata
Kegelisahannya tersebut kemudian ia salurkan ke dalam skrip film pendek berdurasi 15 menit. Pada bagian ini pun Nirartha butuh hampir 1,5 tahun untuk menggodok ceritanya. Ia beberapa kali mengubah skrip demi pematangan karakter, pematangan plot, dan eksplorasi cerita dari sisi sutradara dan produser untuk sama-sama menghimpun cara pandang yang berbeda.
Selaras dengan Nirartha, John Badalu sebagai produser menyetujui bahwa hal ini perlu untuk diangkat ke publik. Ia mengatakan, “Aku tertarik karena selama ini biasa yang dibahas adalah kekerasan seksual di agama lain. Yang di agama Hindu aku jarang sekali mendengar tentang isu itu.” John ingin agar film ini dapat menjadi medium sosialisasi untuk membuka dialog atau memberikan suara untuk para korban.
Film ini masih menunggu pengumuman resmi mengenai kapan akan tayang di Indonesia. Nirartha mengimbau masyarakat agar memantau akun resmi mereka demi menikmati film lokal Indonesia.
GABRIELLA KEZIAFANYA BINOWO
Pilihan Editor: Angkat Isu Kekerasan Seksual, Where The Wild Frangipanis Grow Premiere di Busan International Film Festival