TEMPO.CO, Jakarta - Sutradara Hanung Bramantyo terlihat santai mengemudi mobil menuju kantornya sambil menelepon editor film. Sementara si editor terlihat agak panik menerima panggilan dari sang sutradara.
Tak berapa lama, sampailah Hanung dan langsung menemui Lilik Subagyo, editor yang diteleponnya tadi. Sejenak melihat layar editing, tiba-tiba berhenti. Hanung tampak tak sabar dan Lilik baru mengakui jika file adegan yang hendak diedit hilang terformat.
Meledaklah kemarahan sutradara film Bumi Manusia ini karena terbayang kerja mereka sia-sia. "Ini masalahnya sama banyak orang," ujar Hanung sambil pergi meninggalkan Lilik.
Ada pula kisah Aline Jusria. Setelah syuting, dia membereskan semua pekerjaannya, menyimpannya di hard disc, bahkan di tiga hard disc, kemudian berangkat tidur. Esok hari ketika akan diedit, kawan editornya bahkan tak menemukan satu pun file yang disimpan Aline.
Perempuan ini sontak panik. Dia berusaha menenangkan diri dengan keluar ruangan dan merokok. Di luar ruangan, malam terasa sunyi. Aline seperti mendengar sesuatu. Tiba-tiba sosok pocong membuat perempuan itu tunggang langgang.
Aneka cerita dan dinamika sebagai editor film bikin panik, tegang, marah-marah. Semua putus asa karena kehilangan data atau file adegan saat syuting film. Asosiasi Editor Film Indonesia (Inafed) meluncurkan film Back Up! karya Wawan Idati dalam acara World Premier Back Up! secara daring pada Minggu 3 Mei 2020 .
Wawan mengatakan film ini merupakan tugas akhir ujian D3 di Intitut Kesenian Jakarta pada 2019. "Ini memang tugas akhir, saya pikir selama ini tidak ada sebuah film dokumenter post production, yang menceritakan kerja di balik layar sebuah film," ujarnya.
Film Back Up! menyoroti pentingnya data cadangan yang menjadi bagian penting pekerjaan editor, di balik layar terciptanya sebuah film. Film pendek ini menampilkan beberapa sineas, editor anggota Inafed dan pengusaha film.
Hanung Bramantyo yang biasa menyutradarai film dan hasilnya diedit Wawan, kali ini Hanung berganti posisi. Ia menjadi aktor dan Wawan yang menyutradarai filmnya. Ada pula ketua Inafed Cesa David Luckmansyah, yang berkisah saat awal menggunakan aplikasi Cut Pro yang juga salah pencet kehilangan data file saat mengedit pekerjaannya sedangkan deadline di depan mata.
Tak hanya para editor yang sudah akrab dengan dunia teknologi dan digital, Wawan pun memperlihatkan perjalanan editing masa lalu ketika syuting atau rekam film masih dengan pita seluloid. Kesulitan dan proses manual dengan gulungan-gulungan seluloid yang panjang dialami oleh Sentot Sahid dan Karsono Hadi.
Di sini terlihat rekam jejak sejarah dunia editing film Indonesia dengan ragam dan masalah pada zamannya. Dari pita seluloid hingga teknologi digital. "Semua kisah yang saya tampilkan itu nyata terjadi, hanya saja mengemasnya dengan sedikit drama. Dengan bumbu drama, horor, komedi," ujar Wawan.
Selain adegan dari para editor yang difilmkan, ada pula wawancara dengan beberapa sineas dan pengusaha film yang diwakili oleh Riri Riza, Garin Nugroho, dan Chand Parves. "Proses editing itu yang paling fundamental, menentukan keberhasilan setiap film," ujar Riri.
Sementara Garin Nugroho mengatakan film Back Up! merupakan artefak langsung dari sebuah film. Dibutuhkan manajemen yang baik untuk menyimpan file-file atau data film yang digarap.
Wawan telah mengedit 104 film, beberapa di antara menjadi box office. Karya-karya Wawan antara lain Quickie Express, Pintu Terlarang, Sang Pencerah, Habibie Ainun, Jokowi, Mencari Hilal, Tjokroaminoto, Warkop DKI Reborn, My Stupid Boss 1 dan 2, Ave Maryam, Sultan Agung, dan Toko Barang Mantan.
Film Back Up! rencananya juga akan diputar dan didiskusikan dalam workshop, komunitas-komunitas film serta lembaga pendidikan perfilman.