TEMPO.CO, Jakarta - Belasan karya Nisan Kristiyanto menempel di dinding-dinding di Bentara Budaya. Beberapa di antaranya lukisan dalam ukuran besar. Pada sebuah kanvas berukuran besar, Nisan Kristiyanto melukis pemandangan yang umum namun tak biasa. Lukisan-lukisannya memperlihatkan kesunyian, yang menyeret jiwa ke dalamnya. Tentang pohon yang telah tercerabut akarnya di tanah coklat yang kering, tak ada lagi sisa tanah di akar itu, batangnya entah di mana. Hitam pekat menjadi latar di kejauhan.
Berikutnya adalah lukisan tentang tangisan ibu pertiwi. Perbukitan yang gundul, tanahnya mengelupas ditinggal pepohonan yang dilumat gergaji dan api, sisa pembakaran yang masih menyala di sana sini. Nisan menegaskannya dengan partitur dan lirik tembang Ibu Pertiwi.Nisan juga menyajikan kontroversi hijaunya hutan dengan pohon yang masih kurus namun sesungguhnya di bawahnya terpendam tumpukan kayu-kayu dalam log yang besar. Seperti menafsir betapa kekayaan hutan ini dibabat habis demi memenuhi hajat hidup yang tak terkendali.
Pemandangan karya Nisan bertajuk Partitur dan Pemandangan Alam Yang (Tidak ) Biasa ini bisa dinikmati pada 18- 28 Mei 2017 di Bentara Budaya Jakarta. Perupa ini memperlihatkan kemampuannya merekam obyek dengan sangat detail, rapi dan halus.
Nisan masih konsisten dengan gaya realisnya melukis pemandangan dengan nuansa yang teduh. Tentang hutan bambu yang hijau, yang di ujungnya terang oleh cahaya mentari. Atau lihatlah sosok pohon beringin tua yang kokoh dan angker. Dahan dan cabangnya yang tumbuh ke segala arah, tertutupi hijaunya daun. Rimbunnya pohon ini menangkal cahaya matahari dan meneduhi sekitarnya. Atau batu dan lerengan cadas yang kokoh menjulang.
Kurator pameran, Mikke Susanto, menyebutkan karya Nisan dilukis dengan cara pandang yang bersifat individual. Ia mendatangi obyek-obyek dan merekamnya. “Estetika yang ditawarkan Nisan bukanlah sebagai estetika dengan pendekatan turistik meski pun semula ia berangkat sebagai turis, bukan sebagai peneliti,” tulis Mikke dalam pengantar kuratorialnya.
Seperti pada karya Anak Gadis di Tembok China, ia merekam apa yang dilihatnya saat berkunjung ke Tembok Cina, tapi obyeknya tidak seperti gambaran yang beredar selama ini atau melukis keindahan batu-batu besar di Belitung seperti pada karya Cerita dari Belitong.
Objek yang dilukisnya seringkali dilihat berkali-kali. Ia mengatakan tak bisa melukis dengan mengarang-ngarang tanpa obyek yang jelas. Ia ingin merasakan langsung obyek yang ingin dilukisnya. Mendaki gunung, meresapi kesegaran mata air, merekam hijaunya dedaunan. “Bagi saya alam adalah nafas yang sulit untuk tidak dilukiskan,” ujarnya.
Mikke juga mengatakan hakikat utama lukisan pemandangan alam Nisan adalah menangkap keheningan. Suatu hal yang sangat mahal bagi warga ibukota untuk bisa menikmati keheningan. Nisan mengakui menghadirkan keheningan dan kesunyian itu adalah hal yang membanggakan di tengah banjirnya teknologi. Sekaligus memberikan pengakuan terhadap besarnya kekuasaan sang Ilahi dari hamparan alam yang tersaji di bumi.
Pada beberapa lukisannya, Nisan menghadirkan lukisan-lukisan dengan sesosok kecil manusia. Nyaris tak menjadi obyek yang menonjol dan dominan, hanya dilukis kecil saja. Lihat saja pada beberapa lukisan, seperti lukisan hamparan ilalang di tepi perbukitan, nampaklah sesosok kecil manusia berbaju merah. Nyaris tak terlihat jika tak ditonjolkan dengan warna merah. Atau pada lukisan bukit cadas yang masih tertutup hijau daun, di bawahnya terlihat jalan membentang yang ujungnya menghilang di bawah kaki bukit.
Terlihat sesosok manusia kecil berjalan di kejauhan. Sosok manusia yang terlihat kecil juga muncul pada karya Nisan yang memotret batu-batu cadas yang menjulang dengan lereng-lereng terjal. Mikke menyimpulkan, “Obyek manusia bukanlah obyek yang penting dalam seni lukis karya Nisan.”
DIAN YULIASTUTI