TEMPO.CO, Denpasar - Rekaman film mengenai Bali dan seniman serta karyanya pada periode 1928-1938 berhasil direproduksi dan siap untuk disebarluaskan kepada masyarakat. Upaya itu dilakukan oleh STIKOM Bali dengan dukungan dana hibah dari City University of New York (CUNY) senilai US$ 25 ribu (Rp 332 juta).
“Film-film ini bisa menjadi acuan untuk melihat perkembangan seniman dan budaya Bali,” kata Edward Herbs, yang melakukan penelitian untuk mengawali proyek ini, Sabtu, 11 Juli 2015.
Seniman tradisional Bali pada masa kini dapat melihat gaya para maestro sebagaimana musikus jazz melihat rekaman Louis Armstrong untuk menemukan identitas awal dari musik tersebut.
Koordinator proyek, I Made Marlowe Bandem, menyebutkan semua materi dalam film bersumber dari piringan hitam hasil rekaman dari Odeon dan Becca tentang gamelan dan tembang Bali Kuno serta film hitam-putih karya Colling McPhee. Collin adalah seorang komponis dan pianis asal Kanada yang awalnya mendengar hasil rekaman Odeon dan Becca. Dia kemudian mengunjungi Bali dan akhirnya menetap bersama Jane Bello pada 1928-1938.
Kesulitan utama proses ini ketika harus bernegosiasi dengan pemegang hak cipta film itu untuk dipinjam dan diproduksi ulang. Mereka juga khawatir akan keselamatan piringan hitam yang sudah berusia cukup tua itu.
“Mereka baru melepas setelah ada jaminan bahwa proyek ini semata untuk tujuan pendidikan bagi anak-anak muda Bali,” ujarnya.
Secara teknis, kesulitan muncul karena restorasi audio dan pengaturan kecepatan film untuk cukup layak didengar dan dilihat.
Sejumlah seniman yang terdokumentasikan antara lain I Ketut Mario dari Tabanan dan Ida Boda dari Geria, Kaliungu, Denpasar. Ada juga cuplikan upacara agama yang dipimpin Pendeta Ida Pedanda Made Sidemen. Adapun film tentang alam Bali misalnya pemandangan di Jati Luwih, Tabanan, suasana pasar tradisional, hingga upacara ngaben.
ROFIQI HASAN