TEMPO.CO, Jakarta - Belajar situs candi, tokoh, atau sejarah kerajaan tertentu secara teoretis mungkin akan sangat membosankan. Namun, jika kita mempelajarinya dengan sebuah kisah atau cerita tentu lebih mengasyikkan. Arkeolog dari Indonesia, Prof. Dr Agus Aris Munandar, mendukung proses belajar sejarah dan arkeologi dengan metode ini.
“Cerita silat atau kisah ini bisa menghidupkan. Selama ini jika belajar sejarah atau arkeologi kan monoton, kering,” ujar Agus usai konferensi pers Borobudur Writer and Cultural Festival di kawasan Cikini, Sabtu, 6 Oktober, kemarin.
Dengan pengembangan cerita seperti dalam novel, atau kisah cerita, ini akan memudahkan pembaca, khususnya para pelajar, untuk mengingat suatu hasil penggalian.
Meski demikian, Agus meminta agar penulis mencantumkan fakta-fakta sejarah yang benar. Dia mencontohkan seperti situs, candi, prasasti, dan nama tokoh, harus ditulis dengan benar. Tentu penulis atau pengarang juga harus melakukan riset dan membaca literatur yang memadai. “Kalau nama tokoh sampingan, jurus, atau apa itu kan cuma kembangan cerita biar lebih dahsyat. Tapi, tokoh utama atau tempat kalau bisa yang benar,” ujarnya.
Menurutnya masih belum banyak novel atau kisah yang mengambil setting sejarah dengan benar. Namun, menurutnya masih ada ada peluang bagi pengarang atau penulis untuk menulis cerita dari sejarah yang belum banyak digali atau diketahui faktanya. “Paling baru 30 persen saja,” ujarnya.
Agus nanti akan banyak menguraikan tokoh Kerajaan Majapahit, Gajah Mada, dari sisi arkeologi dalam acara yang akan digelar di aula Hotel Manohara, Borobudur Magelang. Acara ini akan digelar pada 29-31 Oktober mendatang. Agus akan berdampingan dengan pengarang novel Gajah Mada Langit, Kresna Hariadi, dan Yakob Sumarjo, budayawan yang mengupas Gajah Mada dari perspektif Sunda.
Selain Gajah Mada, beberapa novel atau cerita silat akan dikupas habis seperti Senopati Pamungkas, Kontroversi Syekh Siti Jenar, Bende Mataram, dan Naga Bumi, Prahara di Bhumi Sriwijaya.
DIAN YULIASTUTI