TEMPO.CO, Jakarta - Kabayan (Tisna Sanjaya) tafakur di atas panggung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Ia sedih melihat negarinya yang kacau-balau. Terpikir, bagaimana jika Kabayan jadi presiden. Tapi sang istri, Iteung (Peggy Melati Sukma), tak kepengin suaminya terseret arus politik.
“Sudahlah, Kang, jangan lagi bicarakan politik,” kata Iteung, Minggu, 15 Juli 2012. “Kita sudah bahagia hidup mengasingkan diri di sini. Lihatlah, Kang, pegunungan, hijau sawah, gemericik air sungai. Jangan lagi Akang berbicara soal politik.”
Hati Kabayan tambah gundah waktu masyarakat mendukungnya maju ke bursa pencalonan presiden. Akhirnya dia bertanya ke hati kecilnya yang berwujud Kabayan tua (Didi Petet) dan Kabayan muda (Oni SOS). Saran Kabayan tua, baiknya Kabayan tak maju menjadi calon presiden. Tapi Kabayan muda mendukungnya jadi presiden. Kabayan tambah bingung.
Dalam Kabayan Jadi Presiden, selaku sutradara, Didi Petet membangun cerita soal masyarakat yang mulai waras dalam memilih calon pemimpin mereka. Bukan memilih hanya karena iming-iming uang. “Kabayan adalah kerinduan kita akan pemimpin yang bisa menyejahterakan masyarakat,” kata Butet Kartaredjasa dalam prolognya. “Bukan pemimpin yang doyan bikin lagu sambil menyengsarakan rakyatnya.”
Selama tiga jam pentas, Kabayan Jadi Presiden kerap melempar sindiran politik. Baik dari naskah maupun tokoh yang muncul di panggung. Misalnya, Iteung sebagai suara rakyat yang pesimistis akan pemerintahan; Man Jasad sebagai masyarakat yang mendambakan presiden bersih; dan penasihat spiritual Kabayan (Hariyanto alias Argo alias Aa Jimmy). Selain mereka, ada juga peran antagonisnya: Pak Tokoh yang menjadi tukang lobi partai (Juhana Sutisna atau Joe Project P); ibu Pembina Partai Cak Cak Bodas (Meriam Bellina); dan rival politik Kabayan (Mank Imank).
Di antara tokoh, dialog yang terbangun terlihat hidup dan natural kala panggung diisi Iteung, Kabayan, dan Aa Jimmy. Mereka bisa saling melempar dan menangkap improvisasi dengan sangat tanggap dan cepat. Ketika ketiganya berada dalam satu babak, tak henti-hentinya penonton terbahak-bahak. Padahal tak jarang mereka menggunakan bahasa Sunda.
Tapi, ketika panggung berubah pemain, menampilkan plot partai yang ramai kader, suasana lucu jarang terjadi. Terlalu banyak peran dalam satu pentas seakan-akan membuat pemain berebut dialog. Padahal mereka sudah berakting lucu, tapi penonton tak lekas menangkapnya. Perlu beberapa menit untuk membuat kelucuan yang mengundang tawa.
Karena terlalu ramai dengan peran kader yang berteaterikal di plot politik, karakter Mank Imank dan Meriam Bellina jadi tertutup. Akting natural cuma terbangun karena Joe yang bisa melucu secara wajar. Dan begitu panggung kembali ke Iteung serta Kabayan, suasana kembali hidup. Sepertinya nyawa panggung Kabayan Jadi Presiden berada di peran Iteung. Toh, Peggy Melati Sukma memang sering berimprovisasi dan bertenaga dalam menyampaikan dialognya.
Sebagai Kabayan, Tisna Sanjaya sendiri terlihat kurang berkarakter. Sosok Kabayan yang polos tak bisa ditunjukkan oleh Tisna. Berbeda dengan Kabayan versi sebelumnya yang pernah diperankan oleh Didi Petet. Kalau biasanya Kabayan menjadi roh dalam cerita, pada Kabayan Jadi Presiden, sosok ini malah tenggelam dengan pemeran lainnya. Menariknya, Tisna berani bertelanjang dada di atas panggung. Memamerkan badannya yang tak lagi kencang atau six packs kepada penonton.
Puncak babak kelucuan terjadi waktu Iteung adu mulut dengan Pak Tokoh. Si Iteung merepet terus, Pak Tokoh sebel. “Kamu teh teu pusing punya istri seperti Iteung. Kalau saya mah, saya racun saja,” seloroh Pak Tokoh.
Durasi panjang yang terbagi dalam beberapa adegan tak membuat Kabayan Jadi Presiden menggunakan banyak instalasi untuk dekor panggungnya. Pada babak Kabayan, hanya ada satu rumah bambu dengan bale-bale di depannya. Pemandangan di latar cuma menggunakan penggambaran gunung serta sawah yang ditembakkan dari proyektor. Sedangkan panggung politik menyediakan beberapa bangku untuk kader Cak Cak Bodas serta podium bagi pemimpin partai.
Untuk musik, Kabayan Jadi Presiden mendatangkan pemusik tradisional dan modern dari Bandung. Ada Pengrawit, kelompok gamelan Sunda; Karinding Attack, grup musik yang menggunakan perkakas dari bambu; serta musik jazz yang dimainkan anak-anak Rumah Musik Harry Roesli. Yang menarik, permainan Karinding Attack. Meski mereka membawakan musik berkarakter Sunda, vokalis Man Jasad melagukan lirik dengan gaya metal. Berteriak.
"Maaf, kami tidak tertarik akan politik asal-asalan…maaf, kami tidak tertarik menjadi presiden," teriak Man Jasad waktu melagukan liriknya.
Tiga jenis musik dipakai oleh penulis naskah Aat Soeratin untuk mengalihkan babak demi babak atau mengiringi kemunculan pemeran di panggung. Menarik. Tapi ada satu penampilan yang terkesan memaksa. Yakni permainan perkusi gendang setelah plot rapat kabinet. Tak jelas untuk apa mereka memukul gendang dengan mimik sok kocak setelah Kabayan meninggalkan rapat kabinet. Membuat babak ini seperti tersandung batu. Padahal, tanpa kehadiran mereka, alur cerita bisa berjalan lebih mulus.
Waktu pentas tiga jam pun membuat beberapa penonton meninggalkan tempat duduknya. Bukan karena cerita tak seru atau tidak lucu. Tapi karena lambatnya alur cerita dan bertele-tele. Ibarat kue, meski enak tetap akan memuakkan jika terlalu banyak memakannya.
Didi Petet, Tisna Sanjaya, dan Oni SOS. Tiga Kabayan di tengah panggung. Sedangkan pada pojok panggung, berdiri satu Kabayan kecil. Tidak banyak berbicara, Kabayan kecil hanya memperhatikan gelagat orang tua di dunia perpolitikan. “Politik, politik..dari dulu sampai sekarang sama saja. Tak berubah,” ujar anak Didi Petet ini sambil melenggang keluar panggung.
CORNILA DESYANA
Berita lain:
Kabayan Jadi Presiden
Redam Tawuran TKI, Faank Wali Nyanyikan “Sholawat”
Konser Wali, Paguyuban TKI Tawuran di Kuala Lumpur
Gaya Dahlan Iskan ''Kerjai'' Bupati Subang
Megawati Kehilangan Avanza di Monas