TEMPO Interaktif, Jakarta - Perempuan itu duduk sambil melinting tembakau. Kaki kirinya terlipat dengan lutut menghadap ke atas. Paha dan betis kanannya berhimpit di lantai, sedikit mengintip dari kain merahnya yang sedikit tersingkap. Dengan lidahnya ia menjilati kertas lintingan tembakau. Hidungnya lalu menciumi rokok keretek itu. Seiring dengan mengalunnya syair yang dinyanyikan pemusik, tiga perempuan masuk dari sisi panggung sambil berjalan jongkok. Mereka berpencar, lalu menari diiringi tepukan jimbe dan darbuka. Suara alat musik perkusi Arab itu semakin rancak saat ditimpali tiupan sakhuaci, klarinet, dan sopran recorder.
Di tengah keriuhan itu, rokok lintingan yang dibawa terjatuh di lantai. “Aku harimau. Aku Srikandi. Wanita sejati tak mungkin dicari.” Bagian akhir syair itu dinyanyikan berulang-ulang, kemudian hening. Empat perempuan saling mendekat lalu menari serempak. Mengusap wajah dengan telapak tangan, menggerai rambut panjang, lalu menghunus tusuk konde ke berbagai arah. Ketiga alat musik tiup itu lalu terdengar seperti menjerit-jerit. Tepukan jimbe dan darbuka mengalirkan musik padang pasir. Sambil bergoyang pinggul dan perut, gerakan penari kian dinamis.
Inilah salah satu adegan yang ditampilkan kelompok Ni Dance asal Surakarta di amphitheatre Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Selasa malam lalu. Tari kontemporer berjudul Mendut itu merupakan karya koreografer Nungki Nurcahyani. Selama 45 menit, ia menyuguhkan paduan tari dan gerak teater pada karya teranyarnya itu. “Karena saya berangkatnya dari tari dan teater, keduanya masuk saja, dan saya tidak membatasi ini tarian kontemporer atau tarian teater,” kata Nungki sebelum tampil kepada Tempo.
Tarian Mendut juga dipentaskan di Taman Budaya Yogyakarta pada 13 Oktober 2011. Sebelumnya karya itu sempat dipentaskan perdana di Solo pada 2010, dengan melibatkan hanya dua penari, selama 17 menit. Kisahnya bertumpu ke masa hidup Rara Mendut di zaman Kerajaan Mataram abad ke-18. Kini Nungki memperpanjang durasi tariannya, dan menarik kisah Rara Mendut sampai ke masa sekarang. Zaman yang masih menitiskan nasib Rara Mendut setelah kematiannya yang tragis, sekaligus romantis.
Lulusan Institut Seni Indonesia Surakarta itu merujuk pada buku Rara Mendut karya mendiang Y.B. Mangunwijaya. “Saya tertarik dengan karakter Mendut pada buku Romo Mangun. Walau dia (Mendut) itu welas asih, lembut, tapi dia juga sosok yang kuat. Dia bisa jadi pemberontak ketika tertindas,” ujarnya. Nungki pun membuat tembang penari dan syair yang dinyanyikan pemusik dari buku itu. Tarian yang mulai digarap pada Agustus 2011 itu dibawakan Nungki, Agustin Intan Kurniawati, Dhita Anindya Widyarani, dan Anouk Wilke, mahasiswi Montessori Lyceum Amsterdam, Belanda, yang sedang menjalani program darmasiswa di ISI Yogyakarta.
Baca Juga:
Nungki membuka pertunjukan dengan adegan kilas balik, saat Rara Mendut remaja. Sebagai gadis pesisir asal Pati, dunianya beralas pasir pantai seperti yang tersebar di lantai pentas. Di laut, tangannya tak canggung melempar jala ikan. Perahu yang diwakili rakit bambu dipasang menggantung di sekat latar belakang hingga akhir pertunjukan. Salah satu ruasnya dipakai sebagai tempat menggantung jala.
Jala itu juga menjadi lambang perangkap buat Rara Mendut dan kaum wanita yang punya nasib serupa, sampai hari ini. Kebebasan masa remaja Mendut dirampas penguasa Kadipaten Pati Adipati Pragolo II yang menculik dan memingitnya di puri keraton. Setelah Adipati takluk oleh serangan utusan kerajaan Mataram Tumenggung Wiraguna, Raja Sultan Agung menyerahkan Mendut ke Wiraguna. Mendut melawan.
Wiraguna yang kesal menaikkan pajak dari sebulan sekali menjadi tiap pekan kepada Mendut. Perempuan yang digambarkan cantik itu kemudian berjualan rokok sambil menari di belakang kain. Para lelaki yang menontonnya di pasar selalu riuh. Puntung rokok yang diisapnya jadi rebutan dan berharga mahal. Penghasilan itu yang dipakai Mendut untuk membayar pajak.
Dari tempat umum, tarian Mendut juga ikut masuk istana. Gerakannya bertenaga, dinamis, gesit juga luwes, dan menggegerkan hadirin yang terbiasa melihat pertunjukan tari keraton yang lambat dan lemah lembut. Pada adegan ini, Nungki menggali tarian Mendut yang disebut sebagai Elang Merdeka dan Kuda Padang Bebas. Rentangan tangan sambil berputar silih berganti dengan lonjakan kaki. Ia menggabungkan keinginan bebas Mendut dengan kemarahan yang meluap-luap.
Tiba di adegan rencana perkawinan Mendut sebagai calon selir Wiraguna, seorang penari memakai sindur. Kain merah bersisi garis putih yang biasa dipakai mempelai adat Jawa itu menjadi simbol kematian Mendut. Bersama kekasih sejatinya, Pranacitra, Mendut lari ke hutan. Mereka terpojok oleh Wiraguna dan prajuritnya.
Tumenggung yang kalap itu menusukkan keris ke Pranacitra, tapi dihadang tubuh Mendut. Keris itu pun tembus menusuk hingga keduanya mati. “Di cerita ini maskulinitas dapat diruntuhkan dengan kekuatan cinta,” kata seniman yang tertarik isu feminisme itu. Pertunjukan ditutup oleh adegan seorang penari dan dua perempuan yang melinting rokok, serta seorang perempuan di dalam jala perangkap.
Menurut Nungki, tarian Mendut juga bisa diartikan sebagai protes kepada kapitalisme yang menjadikan perempuan sebagai gincu barang dagangan. Misalnya perempuan-perempuan muda SPG (sales promotion girl) yang diharuskan berdandan dan memakai rok pendek. Rara Mendut rupanya masih hidup.
ANWAR SISWADI