Hari itu, bangsa ini telah kehilangan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Pluralisme dan toleransi yang semula menjadi sesuatu yang hampir mustahil di era Orde Baru, ia munculkan saat Indonesia dipimpinnya.Gus Dur berada di garis depan.
Sejumlah seniman, budayawan, dan intelektual mengenang Gus Dur di Gedung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis malam tahun lalu, dalam sebuah acara bertajuk Setahun Gus Dur Kita. Acara itu berangkat dari keprihatinan dan kerinduan atas pemikiran-pemikiran tokoh besar ini.
Malam itu, sketsa-sketsa pertunjukan ditampilkan. Seniman Butet Kertaredjasa misalnya. Raja monolog ini membawakan beberapa anekdot Gus Dur. Sebagian guyonan memang pernah dipublikasikan. Tetapi dengan gaya khas Butet, cerita menjadi berwarna lain.
Salah satu anekdot yang dibacakan adalah perbincangan Gus Dur dengan mantan Presiden Soeharto. Butet memperagakan mimik wajah dan logat dialog masing-masing tokoh. Ia memperagakan tokoh Gus Dur dengan berkali-kali menarik nafas singkat seperti ada ingus di hidung. Sangat khas Gus Dur. Dan Soeharto ia perankan dengan suara bas yang mestinya tak sulit bagi Butet memperagakannya.
Anekdot Gus Dur dengan presiden SBY juga tak luput. Ceritanya, Presiden SBY memaparkan beberapa keberhasilan yang telah ia capai. Gaya bicara SBY diperankan Butet dengan sangat khas. Ini saja sudah membikin penonton tertawa riuh. Tetapi dalam pembicaraan itu, Gus Dur menilai satu hal yang belum berhasil dilakukan SBY: mengurai macet Jakarta. Gus Dur, saat menjadi presiden dulu bisa melakukan ini. Alasannya, “Lha wong dulu setiap saya ke mana-mana selalu lancar. Sekarang, saya ke istana saja kena macet," ujar Gus Dur diperankan Butet.
Tak hanya itu, toleransi Gus Dur terhadap pemuka agama lain disinggung. Guyonan Gus Dur dengan seorang Romo saat perjamuan malam. Tersedia bermacam makanan termasuk babi. Sebagai perbincangan basa-basi, Romo menanyakan adakah yang lebih haram dibanding babi.
Dalam hukum Islam sebetulnya tak ada level haram, lebih haram atau paling haram. Ketidaktahuan Romo itu menjadi perbincangan yang menarik. Gus Dur bukan enggan, tetapi ia menjawab dengan guyonan. "Yang lebih haram dari babi adalah babi yang mengandung babi." Romo tersebut masih saja penasaran, adakah yang paling haram dibanding daging babi. Tak kehilangan akal, Gus Dur lalu menjawab. "Yang paling haram adalah babi yang sedang mengandung babi tetapi bapaknya ndak tau kalau ternyata suka babi." Pecah tawa penonton sangat riuh mendengar lelucon itu.
Lain halnya dengan Romo Franz Magnis Suseno. Ia mengemukakan testimoni atas kenangan dan kekagumannya terhadap Gus Dur. Misalnya, saat istana dipenuhi dengan kardus dan tali-tali ketika Gus Dur akan berkunjung melawat ke Cina. Rupanya ia memakai kardus itu untuk menempatkan barang-barang. Dan bukan koper yang digunakan.
Ada satu lelucon Gus Dur yang selalu diingat Romo Magnis, sampai-sampai Romo berpikir lelucon itu ada benarnya juga. Ceritanya, para pemuka agama berkumpul di pintu surga. Ditemui seorang malaikat penjaga, mereka bermaksud untuk masuk surga. Malaikat mempersilakan duduk dan diberikannya bertumpuk kertas untuk diisi. Tak lama kemudian, ada seorang yang kumal dan lusuh datang. Tanpa harus mengisi berkas-berkas itu, pintu surga dibuka dan orang itu serta merta masuk. Para pemuka agama ini protes. Malaikat menjawab, "Setiap kalian berkhutbah, banyak umatmu tertidur. Tapi dia, supir metromini Jakarta mampu membikin penumpangnya selalu berdoa."
Ya, guyonan-guyonan Gus Dur memang kadang memecah kebuntuan. Ia melihat problem dengan sangat sederhana. Budayawan Mohamad Sobari mengandaikannya sebagai Semar. Tokoh pewayangan dewa tetapi berujud rakyat jelata. Bersama Salim Bungsu dan Budi Ros dari Teater Koma, Sobari dengan wayang Semar yang dibawanya mencoba menggambarkan Gus Dur.
Kelompok musik etnik Cina, Hong Hoa, juga dihadirkan. Kita ingat Gus Durlah yang mulai membebaskan etnis Tionghoa dari segala keterbatasan gerak saat Rezim Orde Baru berkuasa. Selain itu, ada juga musik hadrah.
Boleh dibilang, rangkaian acara yang digelar malam itu telah membawa kita menziarahi kearifan-kearifan yang telah dilakukan Gus Dur. Bangsa ini seakan-akan semakin jauh mundur akan sikap pluralisme dan toleransi. Seperti yang ditulis Sobari dalam bukunya, Jejak Guru Bangsa, mengenang Gus Dur tak lain adalah upaya untuk terus berdialog dengan pemikiran-pemikirannya.
ISMI WAHID