Dalam pameran kali ini, sosok Wayang Monyong masih dapat dilihat. Dia hadir dalam bentuk mahkota yang dipakai Gwen. Berbentuk topeng wayang tak beraturan. Hidungnya panjang seperti Pinokio. Sama seperti Gwen, Wayang Monyong tak memiliki mulut. Matanya pun selalu terpejam.
Menurut Andre, baik Gwen maupun Wayang Monyong menyimpan pesan filosofis. “Mata fisik bisa saja menipu. Tapi tidak dengan mata hati,” ujarnya. Dalam sosok kedua karyanya, Andre pun menggugat. “Seseorang tak bisa dinilai dari penampilan fisik semata. Belum tentu si buruk rupa berarti buruk perilakunya. Dan, juga sebaliknya,” ia menambahkan.
Wayang Monyong, tutur Andre, bermula dari sebuah tugas kuliah yang diberikan dosennya saat belajar di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Sang dosen memintanya mendeformasi sesosok tokoh dalam karya grafis. Saat itu, Andre hanya mampu mengubah – merusak dan memperbaiki – wajah sosok itu.
Nama Wayang Monyong, lanjut dia, terinspirasi dari budaya “omong doang” tanpa pernah berkaya. “Saya bosan, banyak orang ngomong tok,” kata dia. Maka, meledaklah kebekuan itu menjadi sosok wayang monyong.
Andre lahir di Yogyakarta, 28 tahun lalu. Lulusan Magister Seni Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, tahun 2010 itu telah menelurkan seabrek karya. Kini, selain mengajar sebagai dosen di almamaternya, dia juga akatif menggelar pameran – baik di Yogyakarta maupun kota lain di Indonesia dan juga mancanegara.
ANANG ZAKARIA