TEMPO Interaktif, Jakarta - Dua detik kocokan gitar akustik ditahan. Rhythm pada enam senar lalu berubah seperti reggae. Senandung perempuan pengocoknya dengan suara kepala langsung mengikuti. Betotan dawai bas menyertai dengan nada rendah nan nakal. Suasana pesta pantai pun muncul dalam duet gitar dan bas. Begitu segar dan membuat pendengarnya bisa ikut menggoyangkan kepala mengikuti iramanya.
Itulah Kou Kou the Fisherman, satu dari sepuluh lagu--semua dalam bahasa Inggris--dari album terbaru Endah N Rhesa: Look What We’ve Found. Album yang dirilis akhir bulan lalu ini langsung terjual 3.000 keping dalam waktu tiga pekan. Prestasi ini bisa jadi akan menyaingi album sebelumnya, Nowhere to Go, yang telah terjual 16 ribu keping sejak diluncurkan Februari 2009.
Berbeda dengan album Nowhere to Go, yang lebih berwarna folk ballad dan bercerita tentang kehidupan perkotaan, album kedua lebih berkisah tentang hutan dan pantai. Kebanyakan lagu dibawakan dalam tempo cepat. Endah Widiastuti yang memainkan gitar, dan suaminya, Rhesa Aditya (bas), juga lebih banyak mengeksplorasi gaya rhythm. Salah satunya gaya Afrika, seperti dalam Kou Kou the Fisherman. “Saya mempelajari gaya Richard Bona (basis asal Kamerun) supaya lebih paham gaya Afrika,” kata Rhesa.
Monkey Song, lagu yang khusus dibuat sebagai lagu pertama di album, menunjukkan segarnya rhythm cepat--meski termasuk sederhana--yang disertai sedikit melodi pada dawai rendah. Suara Endah yang jarang bervibrasi terdengar jernih. Improvisasi grup yang terbentuk enam tahun lalu ini juga sangat terasa. Perubahan tempo dari tiga perempat menjadi empat perempat salah satu buktinya.
Lagu ini juga berhasil menarik pendengarnya lebih jauh melahap seluruh isi album. Sekaligus menghapus kesan album pertama yang cenderung pelan dan mellow. Endah dan Rhesa mampu menunjukkan gebrakan liar tapi tetap menjaga harmoni yang hangat. “Kami memang ingin ada perubahan yang seekstrem mungkin jika dibanding album pertama,” ujar Endah.
Eksplorasi rhythm Endah juga terasa pada Remember Me yang beraroma country. Pada Midnight Sun, kocokan ala ska yang disertai sedikit variasi melodi cukup terasa galak. Permainan Rhesa juga tak kalah menarik. Dalam Wish You Were Here, ia menggunakan bas fretless yang bunyinya memberikan warna lebih dalam pada lagu. Rhesa bukan hanya menjadi pengiring, melainkan ia tahu bagaimana menjadi lead saat Endah asyik dengan rhythm.
Peran perkusi juga mampu diambil keduanya secara bergantian. Tiadanya drum mampu ditutupi dengan kekayaan teknik keduanya. Mereka juga tidak menggunakan musisi lain, tak seperti album pertama yang menyertakan pemain tambahan. Terbukti sudah, gitar dan bas saja mampu menghasilkan kelengkapan sebuah grup musik. Pun dalam penggunaan guitalele (ukulele berdawai enam), kekosongan itu sulit dirasakan. Album ini jauh dari kesan monoton.
Bukan hanya keliaran nan ceria yang ditunjukkan Endah dan Rhesa, melainkan juga suasana kelam. Pada It’s Gone, misalnya, chord miring yang tak berlebihan menghasilkan kelirihan lagu yang bercerita tentang peri hutan yang siap mati karena hutan yang ditinggalinya dibabat. Petikan bas Rhesa yang hanya sesekali ikut menambah kelam lagu ini.
Dalam album ini, Endah pun bermain lebih dalam dengan gaya humming atau bergumam yang hampir ada di semua lagu. Lagu Mirror Spell, misalnya, menjadi enigma karena hanya berisi gumaman. Ditambah permainan harmoni dari petikan yang ditahan, lagu ini tetap terasa dalam dan menyayat. “Saya banyak mendengarkan Bobby McFerrin (penyanyi yang terkenal karena teknik humming),” kata Endah.
Tak melulu bergumam lirih, lagu Tuimbe (yang berarti bernyanyi dan menari) dipenuhi gumaman jazz yang asyik. Dengan nuansa ceria, Endah dan Rhesa menutup album dengan manis.
Sayang, faktor lirik terlihat masih terasa kurang dieksplorasi. Endah dan Rhesa sebenarnya bisa membuat lirik lebih nakal, seperti pada Monkey Song. Selain itu, di sejumlah lagu, lirik terasa terlalu mellow, meski tak sampai mengurangi kekuatan lagu.
Tapi sudahlah. Bagaimanapun album Look What We’ve Found telah membuktikan kematangan Endah dan Rhesa sebagai musisi muda.
PRAMONO