Itulah refleksi perempuan Aceh yang terbelenggu oleh syariat Islam di Kota Serambi Mekah dalam komposisi tari bertajuk Geurangsang (Munculnya Semangat), yang dipentaskan di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pada Jumat-Sabtu malam pekan lalu. Geurangsang merupakan koreografi karya Ninna Marthavia, seorang seniman tari asal Aceh, yang melukiskan suka-duka para perempuan Aceh.
Pentas tari itu dibuka dengan senandung syahdu yang dilantunkan Marzuki Hasan, dosen tari Institut Kesenian Jakarta, dan iringan dua rapa'i (alat musik mirip rebana) yang dimainkan oleh M. Taufik dan Zukfikar. "Mukadimah" ini seolah melontarkan imajinasi para penonton terbang ke bumi Aceh.
Baca Juga:
Di atas panggung, para perempuan Aceh--yang diperankan enam penari: Dillian, Poppy Parisa, Nur Hasanah, Hanny Herlina, Andara F. Muis, dan Shinta Malita--tampak tengah asyik bercengkerama. Dengan balutan sarung setinggi lutut, baju panjang merah marun, dan sanggul mini yang menjulang, mereka menari. Ketrip jaro atau jentikan jari, tepukan paha, dan kecepatan gerak disuguhkan para penari itu dengan apik.
Ninna tak hanya menyajikan koreografi yang bermain dengan tubuh semata. Ia juga mempertimbangkan unsur hiburan di dalamnya. Pada bagian yang melukiskan kegembiraan, misalnya, para penari yang telah berganti kostum dengan baju keemasan tampak terampil bermain simpul tali. Empat dari mereka berjejer, sambil melilitkan tali di tangan dan tubuh mereka. Gerakan-gerakan mereka kemudian membuat sebuah simpul. Dan ketika barisan itu tercerai-berai, simpul tersebut pun terbentang. Bentuknya menyerupai sarang laba-laba.
Tiba-tiba, di tengah keriangan itu, gemuruh badai menghadang. Latar suara, yang semula bernada gembira, berubah menjadi muram dan kelam. Semuanya lari tunggang-langgang. Tak ada yang menyangka tsunami datang menerjang. Pekikan kengerian terdengar menguar. Plastik-plastik putih sebagai latar panggung mulai meneteskan warna merah darah dari atas dengan cukup deras. Setelah itu, panggung berubah hening. Dan para penari kemudian kembali menari terseok, gemetar, dengan raut muka berhias rintihan.
Di tengah bencana yang mengerikan, Ninna muncul berbalut kain serba putih. Ia berkeliling sambil bersenandung. Rupanya ia sedang mencari kedua orang tuanya di Banda Aceh yang menjadi korban bencana mahadahsyat itu. Ninna merefleksikan pengalaman pribadi yang pahit ini dalam bagian tersebut. Dan pencarian Ninna itu dibuntuti beberapa penari berbaju merah, yang diibaratkan sebagai arwah para korban.
Sosok perempuan Aceh yang diperankan Ninna terus diliputi kesedihan tak terperi. Kehilangan orang-orang tercinta membuatnya terus didera kepiluan tiada tara. Namun lambat-laun perempuan itu mulai menata hatinya, kemudian berusaha bangkit dari keterpurukan.
Bangkitnya perempuan Aceh dari kepiluan digambarkan dengan adegan para penari, yang semula sedih, bangkit satu per satu menyuguhkan gerak tarian nan dinamis. Gerakan mereka mirip tari Saman, sebuah tarian khas Aceh.
Bagian itu kemudian ditutup dengan kedatangan para penabuh rapa'i. Ninna dan Marzuki bersenandung. Adegan ini menggambarkan harapan Ninna dan para perempuan Aceh agar negeri mereka kembali damai sejahtera.
Pementasan ini bukanlah karya terbaru Ninna. Geurangsang pernah dibawakan di atas panggung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 2004. Dalam pementasan di Teater Salihara malam itu, karya yang berangkat dari tesis Ninna di Institut Kesenian Jakarta tersebut kemudian diubah versinya. "Kali ini, geraknya lebih kaya, ada artistik cairan serupa darah, kostumnya lebih beragam, dan durasi yang semula 20 menit menjadi satu jam," katanya menjelaskan.
Aguslia Hidayah