9 juli 2010 menjelang tengah malam, beberapa polisi lalu lintas mulai sibuk mengatur jalan. Mereka bersiap memasang rambu jalan Cone berwarna oranye di jalan TB Simatupang Jakarta. Tepatnya di depan muka mal besar Cilandak Town Square di dinding sisi luar jalan tol, 13 seniman jalanan beraksi menyulap dinding kusam itu jadi pesta warna.
Aksi corat-coret yang nyeni ini menjadi pemanasan sehari sebelum pameran bersama yang bertajuk “Wall Street Arts”. Pameran yang berlangsung di Galeri Salihara Jakarta, hingga 2 Agustus 2010 ini diikuti tujuh seniman Jakarta, yakni Bujangan Urban, Darbotz, Kims, Nsane5, Popo, Wormo, Tutu, dan enam seniman Paris, yaitu Ceet, Colorz, Gilbert, Kongo, Lazoo, dan Sonic.
“Goyang Sampai Melayang”, merupakan salah satu grafiti menggelitik karya Bujangan Urban, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Jablay. Ia tak bekerja sendiri, sebab gambar tiga cewek seksi yang sedang asik joget di bawah kata-kata itu adalah guratan Lazoo, seniman asal dari Paris. Kolaborasi ini terpampang di dinding toilet Salihara yang semula polos.
Beberapa gambar kolaborasi grafiti yang menghiasi dinding-dinding Salihara ini tampil sebagai pemanasan visual bagi pengunjung yang akan naik ke galeri di lantai dua. Memasuki pintu galeri, anda akan disuguhkan sensasi liar gambar jalanan yang terimajinasi dari cat penuh warna dan gambar-gambar menarik. Karya grafiti yang dipajang di galeri, tak lagi bermedium dinding, melainkan di kanvas dengan ragam ukuran.
Menurut kurator pameran, Alia Swastika, perbedaan antara seni grafiti yang berkembang di Asia dan Barat ada pada citarasanya. Tahun ini, grafiti lokal banyak yang mengkiblatkan diri pada pengaruh disain moderen dan tokoh manga. “Adapun gaya Barat lebih mengikuti perkembangan senirupa dunia, lukisan abstrak dan realisme,” jelasnya. Dari kolaborasi dua negara ini bisa saja menciptakan sebuah gaya grafiti baru.
Berawal saat mampir ke Bienale Grafiti di Paris pada September tahun lalu, Alia melihat perkembangan grafiti yang lebih pesat ketimbang di Indonesia. Usai melihat seni jalanan dalam skala global, Alia tergiur membedah grafiti lokal dengan mengajak para seniman Paris untuk studi banding. “Saya akui memang, grafiti Paris sudah dilirik oleh institusi dan galeri yang mumpuni. Sedangkan grafiti lokal masih berada pada posisi sebagai sub kultur,” jelasnya. Pendapat ini tentunya tak salah. Karena memang grafiti jalanan mediumnya ada di pinggir jalan, belajar secara otodidak, dan cenderung bukan seni yang dianggap profesional.
Aguslia Hidayah