“Konsep ruang dalam karya-karya ini adalah interaksi kehidupan saya sehari-hari dengan lingkungan dan masyarakat,” kata Mahendra Mangku, alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tahun 1996 ini.
Mahendra Mangku memutuskan pulang dan menetap di kampung halamannya, Sukawati, Bali, setelah bertahun-tahun menetap di Yogya. Keputusannya untuk kembali mengarungi kehidupan di habitat lama ini tertuang pada karya bertajuk Kelahiran.
Bercak-bercak merah dari lekukan dua bidang oval kuning dan putih yang berhimpitan serta bidang setengah lingkaran di bawahnya dengan latar belakang warna hitam pekat pada karya Kelahiran, memunculkan asosiasi sebuah proses kelahiran. “Ketika harus menetap kembali di kampung halaman, saya seperti terlahir kembali,” ujarnya.
Keterlibatannya sebagai penari topeng Bondres di kampung halamannya makin menyadarkan Mahendra Mangku akan ketergantungan antara individu dengan masyarakatnya. Lalu lahirlah karya bertajuk Ketergantungan, berupa bentuk visual figur berwarna putih yang menggelayut pada gantungan warna merah.
Karya-karya Mahendra Mangku yang dipamerkan kali ini terdiri atas lukisan dengan materi cat akrilik di atas kanvas serta cat air di atas kertas. Menurut Mahendra Mangku, ini semata pertimbangan teknis saja. “Masing-masing punya kesulitan tersendiri. Dengan cat air di atas kertas, banyak kemungkinan lain yang bisa diperoleh,” ia menjelaskan.
Kecenderungan Mahendra Mangku pada lukisan bergaya abstrak sudah dirasakan sejak tahun kedua kuliahnya di ISI Yogyakarta, pada 1993. Menurut dia, selain merasa lebih nyaman, gaya abstrak memberi kemungkinan lebih banyak dibanding gaya realis.
“Pada lukisan abstrak, 70 persennya mengandalkan rasa atau insting. Sedangkan lukisan realis lebih mengandalkan nalar, pikiran, dan bergumul dengan bidang,” katanya. “Sementara saya terbiasa menggarap ide dulu, berproses dulu, baru berkarya.”
Menurut kurator I Wayan Seriyoga Parta, karya abstrak Mahendra Mangku menampilkan komposisi ruang yang khas, tidak seperti karya kosmologi Bali yang cenderung memenuhi bidang kanvas. Mahendra justru banyak memberi ruang kosong pada kanvas atau hanya memberi warna latar.
Pada karya-karya Mangku, tutur Wayan Seriyoga Parta, ruang menjadi elemen yang sangat penting. Melalui ruang, Mahendra Mangku mendialogkan pengalaman personal yang sedang dirasakannya dengan bahasa rupa abstrak sebagai medium ekspresi.
“Bahasa abstrak memberinya keleluasaan untuk menampilkan berbagai hal yang tengah ia rasakan secara lebih netral yang diterjemahkan dalam goresan garis, warna, serta diorganisasikan dalam komposisi tertentu,” ujar staf pengajar Universitas Negeri Gorontalo ini pada katalog pameran.
HERU CN