Bual Kedai Kopi memuat 30 pantun dan 50 sajak. Penulisnya Walikota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Suryatati A. Manan, dan Martha Sinaga yang bersahabat sejak lama. Isinya memuat beragam tema, dari kehidupan sehari-hari masyarakat Tanjungpinang, kritik sosial, tentang program pemerintah, hingga masalah birokrasi.
Dalam bedah buku cetakan April lalu itu di Hotel Mitra, Bandung, Jawa Barat, Ahmadun menyoroti estetika karya di dalamnya, terutama pantun. "Bentuk pantun Suryatati 90 persen tertib, tapi Martha agak kurang," katanya.
Menurut Ahmadun, pantun adalah puisi yang taat pada aturan konvensional. Dua baris di atas berupa sampiran, dan dua baris berikutnya adalah isi. "Pantun Martha ada yang semuanya (hanya) isi, tidak memakai sampiran," ujarnya menjelaskan.
Intinya, Ahmadun menilai pantun buatan Martha tak sesuai aturan baku, sehingga harus diperbaiki. "Kalau tidak (diperbaiki) bakal jadi preseden buruk untuk pendidikan," katanya. Dia menyarankan agar penulis melakukan penyegaran tema, bukan mengubah pola pantun yang sudah baku.
Menanggapi hal itu, Martha mengatakan hanya mengandalkan bahasa nurani ketika menulis puisi atau pantun. Bahasa mengalir dengan sendirinya. "Mungkin itu titik lemah saya yang harus diperbaiki," kata Martha, yang juga seorang wartawan itu.
Adapun Suryatati mengatakan, sulit untuk menarik buku yang sudah beredar itu. "Ke depan jadi perhatian, yang lalu biarlah berlalu," katanya sambil tersenyum.
ANWAR SISWADI