TEMPO Interaktif, Jakarta - Badan mesin jahit kuno itu terbenam dalam balutan torso-manekin, yang secara visual membuat konstruksi alat jahit tersebut tak lazim. Torso-manekin, yang biasanya digunakan penjahit untuk memajang busana bagian atas, diletakkan terguling dan menopang kaki mesin sebagai penunjang. Manekin itu transparan, sehingga kita bisa melihat separuh badan mesin jahit tertanam.
Samsul Arifin, perupa kontemporer kelahiran Malang, Jawa Timur, memberi judul karyanya itu: Mengabadikan Kemuliaannya #1. Bersama karya lukis dan instalasi kontemporer lainnya, Mengabadikan bisa dinikmati di Ark Galerie, Jakarta, dalam pameran tunggal Samsul Arifin bertajuk “The Maker”, yang berlangsung hingga 7 Mei mendatang.
Dalam pameran itu, kita juga bisa melihat seri torso-manekin lainnya. Di sana terpampang 5 manekin dari fiber resin lengkap dengan kaki penyangganya. Komponen berulang ini tak sekadar menghadirkan bentuk separuh tubuh bagian atas perempuan. Di dalamnya ditanam alat-alat jahit-menjahit, seperti pita ukur, benang berwarna-warni, serta ribuan jarum pentul. Alat tersebut mencuri perhatian karena dibenamkan seragam pada satu torso-manekin.
Melihat karya-karya yang dipamerkan, Samsul seperti sedang merayakan dunia jahit-menjahitnya. Ia menguasai bidang ini sejak kecil dengan membantu pekerjaan jahit-menjahit milik keluarganya. Rupanya tak sulit bagi Samsul untuk membuat bidang kerja ini menjadi sebuah karya rupa yang unik.
Samsul memilih boneka sebagai obyek yang menjadi ciri karyanya. Sebelum pameran ini, obyek boneka telah ia gunakan pada karyanya. Awal 2000, karya Samsul mengejutkan dunia seni rupa kontemporer Indonesia. Kala itu ia menyajikan instalasi unik yang ditampilkan pada CP Biennale Jakarta 2003 bertajuk The Mattress of Image, 2000.
Dalam karya itu, Samsul menampilkan sebuah kasur yang diletakkan di atas tempat tidur besi dalam ukuran yang sebenarnya. Sepintas kasur itu tampak biasa. Tapi, jika dicermati dari dekat, kasur itu terbuat dari boneka-boneka kecil berukuran 10 sentimeter berbentuk manusia. Miniatur manusia ini diletakkan tumpang-tindih sehingga membentuk bidang lebar kasur tersebut.
Samsul bekerja dengan sangat cermat. Ia memulai dengan membentuk boneka-boneka kecil, lalu diisinya dengan kapuk. Semuanya ia kerjakan sendiri. Setelah itu, ia membuat pola, kemudian menjahit dan merangkai partikel ini menjadi sebuah kasur. Gagasan yang sangat menarik waktu itu.
Boneka menjadi agregat untuk mencipta sebuah bentuk artistik. Kumpulan boneka ini mudah sekali dibaca sebagai manusia, masyarakat, atau orang-orang yang kalah maupun terbuang. Fenomena ini sangat dekat dalam drama kehidupan masyarakat.
Pada pameran kali ini, Samsul masih menggunakan miniatur manusia sebagai ciri karyanya. Namun, bedanya, ia memanfaatkan tukang jahit untuk mengerjakan berkarung-karung miniatur manusia itu. Meski begitu, pengerjaan menyatukan boneka-boneka menjadi sebuah karya tetap dilakukan sendiri oleh Samsul. "Kalau saya pakai asisten, jadinya malah lebih repot dan lama,” kata Samsul kepada Jim Supangkat, yang menjadi kurator pamerannya.
Lihat karya Samsul berjudul Antara Hidup dan Permainan (2010). Sebuah instalasi bola sepak raksasa dengan diameter 170 sentimeter. Butuh kecermatan yang luar biasa untuk mengerjakan bola raksasa ini. Menangkupkan boneka satu per satu, lalu menjahit sekaligus menyusun pola menyerupai kulit bola sepak. Ada boneka hitam dan putih di sana. Bagian dalam bola ini adalah resin yang massif, tanpa rongga.
Lalu sebuah gaun, yang terdiri atas ratusan miniatur, berjudul You Can See (2010). Ketika membaca pesan tentang karya ini, Samsul mengungkapkan dalam katalog, dalam kehidupan sekarang banyak sekali orang yang dengan tega memanfaatkan orang lain untuk kepentingan sendiri. Mereka tak sadar bahwa kemewahan dan kesenangan yang mereka jalani sebetulnya melibatkan penderitaan orang banyak.
Ada pula lukisan boneka bermata dengan judul Hilangnya Kebebasan (2010). Boneka bermata itu terikat dalam seutas tali putih yang sangat rumit hingga tak memberikan ruang gerak yang cukup baginya. Atau karya Rindu Booming (2010) dan Stagnan (2010). Kemunculan boneka bermata itu menjadi semacam kelahiran seorang tokoh. Bisa jadi tokoh tersebut menjadi representasi Samsul atas dirinya.
Pada beberapa lukisan, boneka bermata itu ditampilkan dalam berbagai macam kondisi psikis. Mata yang dilukis sedang menatap dengan bingung, bersedih, terpukau, berjuang, atau bahkan merenung. Ekspresi ini juga menjadi semacam perumpamaan logis yang diciptakan Samsul untuk mengkomunikasikan suatu pesan, selain muatan artistiknya.
ISMI WAHID