TEMPO Interaktif, Jakarta -
Kang busono tejo obro kang tumejo,Angreyep kumitir keter ngunjwolo,
Sengkang iro anelahi ing kalangyan,
Estri priyo samyo bungah,
Kaereman dening langening kalangya.
(Berpakaian serba kehijauan,
Berkedip bergetar getar bercahaya,
Giwangnya bersinar di langit,
Wanita laki-laki bergembira semuanya,
Terpesona oleh tarian langit)
Bagitulah satu lakon tari srimpi kontemporer berjudul Srimpi Neyeng (Rusty Srimpi), yang diciptakan oleh Mugiyono Kasido. Pada Kamis dan Jumat (29-30 April) pekan lalu, garapan ini ditampilkan di Teater Salihara, Jakarta. "Karya ini diciptakan untuk mengkritisi pentingnya menjaga warisan budaya," ujar Mugi, seusai workshop karyanya di depan anak-anak SMU se-Jakarta.
“Neyeng” berarti berkarat. Kata itu dipilih oleh Mugi untuk membenturkan sebuah ironi. Ironi yang hendak ditampilkan Mugi adalah betapa keindahan tari Jawa sebagai warisan budaya tak mendapat perlakuan yang semestinya.
Srimpi adalah tari yang disakralkan dalam tradisi keraton Jawa. Sejarah menyebutkan, tari ini diubah pada abad ke-17 sejak masa Sultan Agung Mataram dan hanya dipentaskan di istana. Kemegahan dan kesakralannya sama dengan tari bedaya. Bedaya ditarikan oleh sembilan penari putri yang sangat feminim. Lain halnya srimpi, yang hanya ditarikan oleh empat penari perempuan dan bersifat kesatria.
Mereka melafalkan gerak tari yang berbeda satu sama lain. Menurut Mugi, gerak tari Srimpi Neyeng berakar dari Srimpi Ludiro Madu, yang diciptakan oleh Pakubuwono IV ketika menjabat Adipati Anom di Kasunanan Surakarta. Srimpi Ludiro Madu diciptakan sebagai penanda bahwa Pakubuwono IV memiliki keturunan Madura, karena ibunda sang Raja berasal dari Madura. Momen inilah yang dimanfaatkan Mugi untuk memulai garapan baru, sebuah tari yang diciptakan untuk memelihara budaya. Meskipun demikian, gerak tari tak hanya diambil dari Srimpi Ludiro Madu ini. “Semua kamus gerakan srimpi saya gunakan,” ujar Mugi.
Konsep tarian berdurasi 40 menit ini sangat kontemporer. Tari yang digarap oleh Mugi sejak 2009 ini dimulai dengan munculnya dalang perempuan, Murhati, yang tak lain adalah ibunda Mugi. Dengan membawa dodogan dan kecrek (alat yang dipakai dalang untuk menciptakan bunyi perkusif bersuara dog-dog-dog), ia mulai membuka dengan tembang.
Kemudian, empat penari perempuan itu membaur. Geraknya terpecah-pecah dan sangat baru, di luar pakem srimpi. Satu penari memainkan gerakan patah-patah. "Seperti besi berkarat, ini adalah bagian yang rusak," ujar Mugi. Iringan musik seperti suara motor, dan resital piano membuat suasana menjadi semakin gaduh.
Gerakan-gerakan itu mereda ketika semua penari tergeletak bersama. Mereka melepas tikar dan menyatukannya. Ucapan-ucapan mantra, lantunan ayat suci, serta tembang janturan dari sang dalang membaur. Meski tumpang-tindih, ia membentuk harmoni yang tetap enak didengar meskipun asing. Dalang sepuh itu mulai menjahit dan menyatukan keempat tikar pandan itu.
Kodok Ngorek terpilih menjadi iringan gerakan selanjutnya, meski tembang ini tak lazim untuk mengiringi srimpi. "Iringan yang sederhana, tema melodinya berulang-ulang," ujar Mugi.
Tak hanya Srimpi Neyeng yang dimainkan malam itu. Ada juga tari berjudul Metamorfosis, yang dimainkan sendiri oleh Mugi selama 30 menit. Garapan ini bercerita tentang perubahan dan usaha pertahanan diri manusia atas lingkungannya. Kemenangan yang paling besar, menurut Mugi, adalah mengalahkan diri sendiri dalam dinamikan modernitas, lingkungan sosial, dan politik yang dapat mengubah karakter manusia menjadi brutal.
Sebelumnya, Srimpi Neyeng dan Metamorfosis ini sudah dipentaskan pertama kali di sanggarnya, Surakarta, dua pekan yang lalu. Mereka memainkannya di sebuah tanah lapang luas dengan suasana penuh tegakan bambu di sana. Mugi tak main-main dalam memilih penari. Seluruh pemain adalah penari yang sudah lama berapresiasi di bidangnya.
Selain itu, penonton lebih atraktif untuk mengapresiasi garapan tersebut, lebih bebas dan tak terkungkung oleh aturan pertunjukan dalam ruangan.
Di Jakarta, garapan ini kembali digelar dengan repertoar yang persis sama. Hanya, performa panggung dan tata lampu lebih tertata dibanding gelaran di Surakarta. Selain itu, di Solo pertunjukkan melibatkan tiga perempuan penari dan satu laki-laki.
Sehari sebelum pertunjukan, diadakan workshop bagi siswa SMU di Jakarta. Garapan kesenian tradisional yang dipadu dengan kontemporer membuat mereka berdecak kagum. Forum tanya jawab menjadi ramai oleh diskusi. Tampaknya, karya ini adalah hal baru bagi mereka.
ISMI WAHID
Memang tak lumrah jika tikar digunakan untuk membalut badan. Tapi, oleh Mugi, properti ini disulap menjadi baju yang menutupi kostum utama para penari dan menjadi ciri utama pergelaran malam itu. "Memang sengaja digunakan untuk menyembunyikan yang lebih indah," ujar Mugi.
Tikar, bagi Mugi, memiliki simbol yang luar biasa. Benda ini adalah bagian yang sangat erat dalam tradisi Jawa. Tikar selalu hadir dalam setiap upacara-upacara Jawa yang mencerminkan fase kehidupan, mulai dari kelahiran, pernikahan, hingga kematian.
Awalnya, Mugi memilih lembaran aluminium (seng) untuk membalut tubuh penari itu sebelum kostum aslinya diperlihatkan. Lembaran aluminium ini lebih bisa mewakili fenomena karat yang mendukung tarian tersebut. Namun, karena alasan keselamatan penari, Mugi urung menggunakannya.
Hingga suatu kali Mugi duduk di atas selembar tikar pandan yang telah sobek. Lalu ia mengeksplorasi benda tersebut menjadi baju. Bunyi gesekan tikar dan lantai ini pun tak gaduh berlebihan. Maka dipilihlah tikar mendong ini menjadi ornamen penciri utama tari Srimpi Neyeng.
ISMI WAHID