Judul: How to Train Your Dragon
Genre: Animasi
Sutradara: Dean DeBlois dan Chris Sanders
Pengisi Suara: Jay Baruchel, Gerard Butler, Craig Ferguson, America Ferrera
Produksi: DreamWorks
***
“Aku hanya ingin menjadi bagian dari kalian,” begitulah hasrat yang menggebu dari seorang anak kepala suku Viking. Hiccup--sang anak kepala suku--ingin menjadi seorang Viking yang legendaris: berpostur kuat dan tangguh bertempur.Boleh jadi, hasrat Hiccup hanya sebatas impian, mengingat tubuhnya yang kurus dan tak punya naluri membunuh. Hiccup pun kemudian menjadi “orang buangan” dalam komunitas sukunya sendiri.
Ketika para Viking berlomba membunuh naga, yang dianggap sebagai hama, Hiccup hanya mendapat tugas mengasah pedang dan membuat roti. “Jika kau keluar, kau hanya membuat kacau dan bisa terbunuh,” kata kepala suku Stoick, yang tak lain adalah ayahnya sendiri.
Kata-kata sang ayah yang bernada menghardik itu membuat pedalaman batin Hiccup gundah. “Aku harus bagaimana, menjadi diriku sendiri atau berusaha menjadi bagian dari sukuku?” ujarnya membatin.
Lalu Hiccup pun nekat menjadi seorang Viking. Diam-diam ia mencoba memburu Night Furry, naga yang paling ditakuti. Sosoknya bagai hantu dan semburan apinya bak nuklir. Naga jenis itu diyakini sebagai titisan dewa kematian.
Suatu malam Hiccup berhasil menangkap naga yang menjadi momok itu tanpa disengaja. Tapi Hiccup tak kuasa membunuhnya. “Aku mungkin memang bukan Viking,” katanya masygul. Dia hanya mampu menjinakkan tapi tak sanggup membunuh sang naga.
Dalam film How to Train Your Dragon, Hiccup mendeklarasikan dirinya sebagai pakar penjinak naga. Night Furry pun ditundukkannya. Uniknya, naga hitam itu ternyata tak punya taring alias toothless. Hanya, kemahirannya itu justru bertolak belakang dengan kebiasaan sukunya. Hiccup khawatir ia makin disingkirkan.
How to Train Your Dragon, film animasi produksi DreamWorks, boleh dibilang lebih menarik dibanding film tandingannya, Clash of the Titans, yang ditayangkan bersamaan. Paling tidak, dari segi cerita dan penggarapan visualnya, film besutan sutradara Dean DeBlois dan Chris Sanders itu lebih menarik: bisa menghadirkan sensasi imajinasi baru tentang naga dengan sangat apik.
Sejak Avatar menjadi inspirasi di Hollywood, banyak sineas mencoba mencari celah yang bisa dikembangkan. Masih ingatkah pada Jake Sully, yang mampu menunggangi naga tertinggi di negeri Pandora. Kini ada Hiccup, yang berhasil menjinakkan Night Furry.
Dalam film ini, imajinasi memang tak perlu permisi. Bayangkan ketika hewan ganas itu sebenarnya berperilaku bak kucing piaraan. Senang makan ikan, dibelai, geli dengan alang-alang, dan setia. Keberhasilan Hiccup itu pun bukan akhir dari cerita. Ancaman yang lebih dahsyat justru menunggu untuk dibangunkan, saat sang ayah dan seluruh warga Viking berburu sarang naga untuk memusnahkan seluruh keturunan hewan mitos ini.
Meski belum mampu mengalahkan versi tiga dimensi Avatar, film ini tetap menarik untuk ditonton. Sebab, film yang hingga kini telah meraup pundi sekitar US$ 105 juta itu masih berada di peringkat lumayan, yakni urutan ke-13. Tapi untuk film yang berkisah tentang naga, film ini menduduki urutan pertama, mengalahkan Eragon, Dragon Heart, atau Dungeons and Dragons.
AGUSLIA HIDAYAH
BOKS:
Dendam Anak Dewa
Film Clash of the Titans, bila dibandingkan dengan kisah Percy Jackson and the Olympians: The Lightning Thief, jadi terasa hambar. Boleh dibilang, kisah yang dihadirkan sutradara Louis Letterier itu hanya menyuguhkan cerita dendam anak dewa mitologi Yunani, Perseus.
Dalam film Percy Jackson and the Olympians, Hollywood memperkenalkan Percy Jackson, si anak biologis Poseidon, yang marah pada Hades (dewa neraka) karena ibunya diculik dan ia dijadikan kambing hitam atas hilangnya tongkat petir Zeus. Kini muncul Perseus, anak biologis dari pernikahan Zeus dengan perempuan biasa.
Dan kemarahan itu lagi-lagi tertuju pada Hades, yang telah menenggelamkan keluarga tiri Perseus hanya karena dengki. Kesewenangan para dewa ini hendak dibasmi Perseus dengan mengadakan sebuah perlawanan sengit di kerajaan para dewa.
Setelah Percy Jackson pernah “dimaki” karena mengekor karateristik Harry Potter, kini malah Perseus yang kebagian sindiran. Meski Clash of the Titans sebenarnya sudah ada sejak 1981 dan kini dibuat versi terbarunya, film ini kecolongan start. Banyak pula yang kecewa dengan keputusan sang sutradara yang lebih mementingkan aksi ketimbang memoles dialog dan plot cerita.
Dari segi acting, tak ada yang salah dengan Sam Worthington, yang sukses beraksi sebagai Jake Sully di Avatar. Performanya terbilang mulus dan maksimal. Dengan karakternya yang cool, bukan sebuah kesulitan bagi dia untuk memerankan tokoh Perseus.
Aguslia Hidayah