TEMPO.CO, Jakarta - Pendekatan yang berbeda dari seri- seri lainnya merupakan salah satu ciri khas yang menonjol dari film Dilan 1983: Wo Ai Ni. Menceritakan tentang masa kecil karakter Dilan – diperankan oleh Muhammad Adhiyat, yang baru kembali ke Bandung setelah ikut ayahnya bertugas di Timor Timur (Timor Leste), prekuel ini berfokus pada dinamika keluarga dan persahabatan yang Dilan jalin semasa duduk di bangku kelas 5 SD. Hal ini yang menjadikan film Dilan 1983: Wo Ai Ni cocok dijadikan tontonan keluarga.
Meski diselingi dengan kisah cinta monyet anak umur 12 tahun, ada setidaknya tiga poin utama yang bisa ditangkap penonton dengan mudah ketika menikmati film ini, yaitu nilai-nilai kekeluargaan, persahabatan, serta toleransi. Pembuat film sukses menampilkan ketiga elemen tersebut dengan porsi yang pas dan pada tempatnya.
Tokoh Mei Lien yang diperankan oleh Malea Emma di dalam film adalah gadis Tionghoa yang baru 6 bulan pindah dari Semarang ke Bandung dan kebetulan bersekolah di satu kelas yang sama dengan Dilan. Mei Lien menjadi salah satu simbol dari nilai toleransi yang ingin ditonjolkan dalam film garapan Fajar Bustomi ini. Ia berhasil mentransformasikan kisah cinta monyet yang dimiliki Dilan terhadap Mei Lien menjadi kisah persahabatan tanpa memandang SARA yang menggemaskan sekaligus membuat haru.
Sebagaimana yang dikatakan Ira Wibowo yang berperan sebagai “Bunda-hara” atau Ibu Dilan, seri terbaru yang ditulis Pidi Baiq bersama Alim Sudio ini bukanlah film bertema cinta-cintaan. “Mungkin kalau yang kemarin itu kan lebih ke kisah remaja, di mana remaja itu sudah lebih punya banyak kehidupan sendiri, main geng motor, ada cinta-cintaan. Kalau masih anak-anak, jadinya lebih ke keluarga,” kata Ira pada acara gala premiere sekaligus konferensi pers pada Ahad kemarin, 9 Juni 2024 yang puncak acaranya diadakan di Bandung. “Hubungan anak kelas 5 SD dengan kakak-kakaknya, dengan orang tuanya, dan juga dengan sahabat-sahabatnya,” aktris berusia 56 tahun tersebut melanjutkan.
Detail Apik Bandung di Tahun 1983
Sebagai penulis yang konsisten membawa serta nama Bandung dalam karya-karyanya, Pidi Baiq berhasil menggambarkan kondisi Kota Kembang itu di tahun 1983 dengan rapi dan teliti. Aktivitas bermain anak sekolah dasar yang ditampilkan melalui keriangan Dilan bersepeda bersama kawan satu gengnya, bermain permainan korek jangkrik di dalam kotak, hingga menyalakan petasan di selasar masjid. Keusilan-keusilan Dilan yang ditampakkan juga sewajarnya keusilan yang dilakukan anak seusianya di tahun di mana teknologi seperti gawai belum merajalela.
“Karena harus menghadirkan Bandung di tahun 1983, jalan Asia-Afrika itu sempat benar-benar ditutup, karena mobil yang lewat enggak bisa sembarang mobil, orang-orang yang lewat pun harus berpakaian sesuai dengan zaman itu,” kata Ira Wibowo menerangkan salah satu detail yang berkesan saat proses pembuatan film. “Kemarin waktu syuting itu kebetulan hari Minggu, jadi banyak sekali yang mau lewat yang lagi lari pagi, pakai outfit yang kayak orang (zaman) sekarang lari pagi. Kan, enggak bisa banget."
Selain itu, diselipkannya isu Petrus (Penembakan Misterius) yang memang sedang marak di zaman tersebut juga menambah poin plus mengenai detail film produksi Falcon Pictures itu. Penggunaan tone warna yang hangat di sepanjang film juga menambah nuansa nostalgia yang kental untuk para generasi tua tanpa membuat film tersebut membosankan ditonton anak-anak generasi masa kini.
Secara keseluruhan, film Dilan 1983: Wo Ai Ni cocok untuk dijadikan film tontonan keluarga yang membawa banyak kenangan dari masa lampau kepada para orang tua dan mengandung banyak pesan bermanfaat untuk para anak-anak. Film ini bisa disaksikan di seluruh bioskop di Indonesia mulai hari ini, Kamis, 13 Juni 2024.
Pilihan Editor: Begini Keseruan Anak Artis Menonton Film Dilan 1983: Wo Ai Ni