TEMPO.CO, Jakarta - Kritik sastra dikenal sebagai bentuk kritik atas karya sastra yang dihasilkan penulis. Di Eropa modern, kritik sastra menduduki tempat sentral dalam perdebatan mengenai isu-isu budaya dan politik.
Dalam karya Sartre Apa itu Sastra? (1947) memiliki ciri khas dalam upayanya yang luas untuk menentukan hubungan ideal intelektual sastra dengan perkembangan masyarakatnya dan dengan sastra sebagai manifestasi kebebasan manusia.
Demikian pula beberapa yang menonjol kritikus Amerika, termasuk Alfred Kazin, Lionel Trilling, Kenneth Burke, Philip Rahv, dan Irving Howe, yang bermula sebagai radikal politik pada tahun 1930an dan mempertajam perhatian mereka terhadap literatur mengenai dilema dan kekecewaan pada masa itu.
Dilansir dari laman Badan Bahasa Kemdikbud, menurut H.B. Jassin, kritik sastra merupakan pertimbangan baik dan buruknya suatu hasil kesusastraan. Pertimbangan yang diungkapkan H.B. Jassin ini maksudnya adalah sebuah kritik sastra harus disertai alasan dan berisi mengenai isi dan berbagai bentuk di dalam karya sastra.
Di lain sisi, menurut Widyamartaya dan Sudiati, pengertian kritik sastra merupakan proses pengamatan yang teliti, perbandingan yang tepat akan sebuah karya sastra, dan pertimbangan yang adil terhadap baik dan buruknya kualitas, nilai, dan kebenaran suatu karya sastra.
Di Indonesia, beberapa kritikus sastra yang terkenal antara lain A. Teeuw, H.B. Jassin, Boen Oemaryati, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Saut Situmorang.
Fungsi kritik sastra
Fungsi kritik sastra sangat bervariasi, mulai dari mereview buku setelah diterbitkan hingga diskusi teoritis yang sistematis. Meskipun resensi terkadang menentukan apakah suatu buku akan terjual secara luas, banyak karya yang berhasil secara komersial meskipun mendapat ulasan negatif, dan banyak karya klasik, termasuk Moby Dick karya Herman Melville (1851), telah mendapat apresiasi dari publik lama setelah dikaji secara buruk dan pada awalnya diabaikan.
Salah satu fungsi utama kritik yakni untuk mengungkapkan pergeseran kepekaan yang memungkinkan terjadinya revaluasi. Tentu saja, syarat minimal untuk penilaian baru tersebut adalah teks aslinya tetap bertahan. Kritikus sastra terkadang berperan sebagai detektif ilmiah, menggali, mengautentikasi, dan mengedit naskah yang tidak diketahui.
Bahkan, keterampilan ilmiah yang langka sekalipun dapat digunakan untuk tujuan kritik yang paling mendasar, yaitu untuk membawa karya sastra ke perhatian publik.
Beberapa fungsi kritik tercermin dari ragam publikasi yang memuatnya. Kritik di media harian jarang menampilkan tindakan analisis yang berkelanjutan dan kadang-kadang tidak lebih dari sekedar merangkum klaim penerbit atas ketertarikan sebuah buku.
Dilansir dari Britannica, beberapa majalah luar negeri, seperti The Suplemen Sastra Times dan The New York Review of Books, sama sekali tidak memanjakan karya-karya populer. Kritik yang berkelanjutan juga dapat ditemukan dalam bulanan dan triwulanan dengan sirkulasi yang luas, dalam “majalah kecil” untuk pembaca khusus, dan dalam jurnal dan buku ilmiah.
Bahkan, Jean Sartre sebagai filsuf-kritikus Perancis mengamati, bahwa kritikus mungkin mengumumkan bahwa pemikiran Prancis adalah perbincangan terus-menerus antara Pascal dan Montaigne bukan untuk membuat para pemikir tersebut lebih hidup tetapi untuk membuat para pemikir pada masanya menjadi lebih mati.
Kritik sastra dapat membuat marah penulis meskipun telah menjalankan fungsinya dengan baik. Para penulis yang menganggap karya sastra tidak membutuhkan pendukung atau penyelidik akan merasa kurang bersyukur ketika diberi tahu bahwa karya mereka memiliki makna yang tidak disengaja atau bersifat tiruan atau tidak lengkap.
KEMDIKBUD | BRITANNICA
Pilihan editor: Perpustakaan PDS HB Jassin Jadi Viral, Ini Profil Sang Kritikus Sastra Indonesia