TEMPO.CO, Jakarta - Joko Pinurbo jarang bercanda, tapi puisi-puisinya jenaka. Dia melegenda, banyak orang kehilangan, dan akan terus merindukannya. Sabtu, 27 April 2024, ajal menjemput setelah dia menahan sakit sejak lima bulan lalu. Joko Pinurbo meninggal dalam usia 61 tahun.
Saya mengamati Joko Pinurbo dari dekat sebelas tahun yang lalu. Jokpin, panggilan akrabnya, mengajak kami ke Seminari Menengah Santo Petrus Canisius Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah. Jokpin bersekolah di sana 47 tahun yang lalu. Sekolah calon pastor inilah yang menjadi batu pijakannya menciptakan puisi-puisi yang reflektif, imajinatif, dan lucu.
Tema Religiusitas Dominasi Karya-karya Joko Pinurbo
Tema religiusitas mendominasi karya-karyanya. Di tangan Jokpin, kehidupan beragama yang angker diolah menjadi sesuatu yang santai dan menyenangkan. Tengoklah karya berjudul 'Agamamu apa? Agamaku air yang membersihkan pertanyaanmu'.
Dalam diskusi yang pernah berlangsung di Universitas Sanata Dharma, Joko Pinurbo menyatakan sebagai tema yang aktual, agama menurut dia sangat sensitif dan angker sehingga dia selalu bersiasat dalam berbahasa dengan cara berhati-hati dan memikirkannya secara mendalam sebelum puisi itu beredar ke publik.
Ketika menciptakan gaya berpuisi, Jokpin terus berproses. "Tahun 1980-an, tema religiusitas puisi Jokpin kaku dan formalistis," kata sastrawan dan aktor, Landung Simatupang di sela melayat di Perkumpulan Urusan Kematian Jogyakarta atau PUKJ, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu, 27 April 2024.
Baca juga:
Misa arwah penyair Joko Pinurbo di rumah duka Perkumpulan Urusan Kematian Jogyakarta di Kecamatan Kasihan, Bantul, Yogyakarta, Sabtu, 27 April 2024 (TEMPO/Shinta Maharani).
Jenazah Jokpin dimakamkan di Pemakaman Demangan Wedomartani, Ngemplak, Sleman pada Ahad, 28 April 2024. Sebelum dikuburkan, jenazah Jokpin disemayamkan di PUKJ. Romo F.X Sukendar dan Romo Andre Sulardi memimpin misa arwah. Sama seperti Jokpin, Romo Sukendar dan Andre alumnus Seminari Mertoyudan. Hanya saja, Jokpin memilih jalan lain, yakni menjadi penyair sebagai jalan salib.
Sepanjang perjalanan dari Yogyakarta menuju Seminari Mertoyudan, sebelas tahun lalu, saya mengamati raut wajah Jokpin yang datar dan tenang ketika bicara. Ia tak banyak bercanda dan hanya sering tersenyum ketika kami membicarakan perdebatan sengit para sastrawan.
Sejak pagi hingga sore, Jokpin membawa kami mengelilingi sudut-sudut seminari yang sejuk karena ditumbuhi rindang pepohonan. Pohon palem raja yang menjulang tinggi menyambut pengunjung di pintu masuk seminari, tumbuh di kanan dan kiri jalan. Seorang kawan yang bersekolah di sana bercerita pernah terjadi insiden dahan pohon palem tumbang dan menimpa kepala siswa seminari. Siswa tersebut meninggal akibat insiden tersebut.
Dari pintu masuk, kami berbelok ke kapel besar bercat putih dan cokelat yang dikitari pohon palem. Jokpin menyatakan menyukai bunyi lonceng kapel yang membuat hati tenang. Suatu hari saat Jokpin berumur 15 tahun, dia melihat bunga kamboja berguguran di tengah dentang lonceng kapel. Peristiwa itu menginspirasinya menciptakan puisi. Jokpin menulis: kamboja berduka diterpa dentang lonceng gereja.
Misa arwah penyair Joko Pinurbo di rumah duka Perkumpulan Urusan Kematian Jogyakarta di Kecamatan Kasihan, Bantul, Yogyakarta, Sabtu, 27 April 2024 (TEMPO/Shinta Maharani).
Dari situ kami menuju lorong kelas siswa seminari yang mirip bangsal rumah sakit. Lalu Jokpin menunjukkan kamar yang tempat tidurnya bersusun, mirip dengan kamar tidur santri pesantren. "Belajar prihatin jadi kami berbagi dalam satu kamar," ujar Jokpin.
Selepas mengintip kamar Jokpin, kami mampir ke dapur yang menyajikan makanan untuk para siswa. Seorang juru masak perempuan menunjukkan makanan dalam jumlah banyak di panci. Kami hanya bisa menghidu masakan itu untuk menghormati kawan yang sedang berpuasa. Pertengahan Agustus saat kami bertandang ke sana bertepatan dengan Ramadan.
Selanjutnya, Tempat Favorit Jokpin