INFO CELEB - Pernahkah pengalaman perang mampu diceritakan secara utuh pada keluargamu? Inilah pertanyaan yang amat sulit dijawab ketika muncul di benak seorang prajurit.
Film The East (De Oost dalam Bahasa Belanda), ini segelintir dari deretan film fiksi bergenre perang yang mencoba menguak sisi lain sebuah peperangan. Pergulatan batin seorang Johan De Vries, prajurit muda asal Belanda yang dikirim untuk menumpas pasukan anti-gerilya di Celebes (Sulawesi Selatan), ini berujung membuka mata sejarah bagaimana yang terjadi sesungguhnya di ranah peperangan.
Film fiksi pertama yang mengangkat sosok Raymond Westerling, pemimpin Satuan Khusus Militer Belanda Depot Speciale Troepen (DST) yang dicatat sejarah Indonesia dengan Pembantaian Westerling, meski menuai banyak kritik, setidaknya kita tak dibanjiri tembakan yang hanya diakhiri dengan teriakan miris rakyat jelata tak berdosa. Lewat film ini penonton akan membuka mata, melihat sisi lain nilai-nilai kemanusiaan.
Sander Verdonk, salah satu produser film ini menyebut, meski cerita yang dikisahkan dalam film ini fiktif, namun yang terjadi di dunia nyata begitu tragis. Menurutnya, sisi fiktifnya amat sedikit. Itu artinya, film ini punya keberanian untuk menguak sisi abu-abu dari perjalanan sejarah Westerling yang juga diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia, meski tak mendetail.
Mungkin, film yang secara plot (alur) enak ditonton, jauh dari kesan bertele-tele ini bisa jadi cermin, untuk menengok kembali jauh ke belakang. Bagi sejarah Indonesia, maupun Belanda sendiri. Lima produser yang terlibat dalam produksi film kerja sama Indonesia dan Belanda ini selain Sander adalah Benoit Roland, Shanty Harmayn, Jim Taihuttu, dan Julius Ponten.
Film berdurasi dua jam yang mengambil peristiwa sekitar tahun 1946-1947 ini disutradarai oleh Jim Taihuttu, lelaki Belanda berdarah Maluku. Film sejarah yang tayang perdana di Belanda Mei 2021 ini membuka perspektif pada kita semua bagaimana melihat sebuah peperangan, penggalan sejarah, secara obyektif dan bukan dari kacamata sepihak.
NEW AMSTERDAM FILM COMPANY/MILAN VAN DRIL
Pemerintah, sejarawan, atau bahkan pelaku sejarah itu sendiri. Melalui The East kita bisa kembali memasuki ruang perdebatan yang terbuka, seperti berapa jumlah korban pembantaian di periode tahun itu. Benarkah seperti diklaim Presiden Sukarno mencapai 40 ribu orang, atau versi Belanda yang sekitar 3000 orang? Paling tidak, dengan mengikuti jejak pertemuan dan berakhir perseteruan yang terjadi antara tokoh protagonis Johan De Vries (diperankan Martijn Lakemeier) dan Raymond Westerling (diperankan Marwan
Kenzari), kita belajar tentang dua sisi peperangan.
Sinopsis film The East bermula dari kedatangan tentara sukarelawan Belanda ke Tanah Jawa. Salah satunya adalah Johan De Vries. Johan, tokoh protagonis ini ditempatkan di Semarang. Tiga bulan pertama, ia nyaris tak menemukan kegaduhan atau laporan tentang serangan musuh di kampung-kampung seperti yang diceritakan.
Sampailah suatu hari, Johan bertemu Raymond yang lebih dikenal dengan Si Turki (yang belakangan diketahui bernama Raymond Westerling). Johan yang mulai melihat ‘kejanggalan’ atau nilai-nilai tak sejalan dengan misi
keberangkatannya dari Belanda yakni membantu dan menciptakan perdamaian, mulai tertarik pada sosok Raymond yang terkesan berani, dan seperti diakuinya sendiri, dijuluki Ratu Adil.
Johan pun bersimpati dan mengikuti jejak Raymond, tokoh antagonis ini. Pergulatan batin Johan seperti mendapat jawabannya dengan bergabung pada Satuan Khusus Militer Belanda Depot Speciale Troepen (DST) di bawah komando Raymond.
Sampailah pada suatu masa, Raymond memerintahkan pasukannya untuk berangkat dan mendapat tugas menumpas para perusuh alias teroris di Celebes (Sulawesi Selatan). Johan yang setia, pun bergegas. Pergulatan batin mulai muncul ketika pasukan mereka merangsek ke kampung demi kampung.
Hanya berbekal daftar nama-nama orang yang dicurigai biang perusuh, di depan warga kampung yang dikumpulkan di lapangan, di depan anak, istri mereka, Raymond mengeksekusi para lelaki tanpa ditanya terlebih dahulu.
Hanya berbekal pengakuan nama, peluru tajam menghantam mereka tanpa ampun. Korban bertumbangan satu per satu, entah berapa lubang kubur massal yang memenuhi setiap desa.
Suatu ketika, Johan mendapat pula giliran mengeksekusi. Lantas, dengan keberanian atas nama kemanusiaan dan kebenaran, ia mempertanyakan tindakan Raymond yang menurutnya sudah tak lagi sesuai dengan misi yang mereka anut bersama dulu.
Membunuh tanpa mengadili kebenarannya adalah ibarat pembunuhan sia-sia. Johan De Vries pun, yang semula menjadi anak buah kepercayaan Raymond, dianggap berkhianat dan memutuskan berpisah. Benih permusuhan tak terelakkan, adegan-adegan yang menguras emosi terjadi di antara keduanya. Di sebuah dunia yang berbeda. Bukan lagi di arena peperangan sesungguhnya.
Lewat ending The East yang dramatis kita akan berpikir kembali, tentang cinta, pengkhianatan, dan peperangan. Dan kebenaran sejarah, sekali lagi.(*)