Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Sutradara Kamila Andini Merasa Geli Nonton Film Sendiri

Reporter

Editor

Aisha Shaidra

image-gnews
Sutradara Kamila Andini (Dokumentasi Pribadi)
Sutradara Kamila Andini (Dokumentasi Pribadi)
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta -Februari lalu, sutradara Kamila Andini menyabet penghargaan Grand Prix di Berlinale International Film Festival ke-68 untuk sesi kompetisi Generation Kplus lewat film Sekala Niskala atau The Seen and Unseen. Film ini adalah satu-satunya wakil Indonesia dalam perhelatan Berlinale 2018 sekaligus film panjang pertama dari Indonesia yang pernah meraih kemenangan.

Baca: Bawa Piala dari Eropa, Film Sekala Niskala Pulang ke Indonesia

Menurut juri, kekuatan film ini terletak pada visi sinematik yang digarap dengan hati-hati. Dini-panggilannya butuh lima tahun untuk mewujudkan film yang berkisah tentang pengalaman spiritual sepasang kembar buncing (laki-laki dan perempuan) bernama Tantra dan Tantri ini. "Setelah jadi, saya hanya sekali menontonnya. Mungkin karena terlalu banyak diri saya di situ, jadi agak geli," kata dia.

Setiap kali pertunjukan perdana, dia kebanyakan menunduk atau mengalihkan perhatian. Wartawan Tempo Dini Pramita sempat berbincang-bincang dengan ibunda Rintik, 4 tahun, dan Binar, 1 tahun, setelah kembali dari helatan Berlinale International Film Festival tersebut. Dia bercerita mengenai ketegangan di balik lahirnya Sekala Niskala, rasa gugup sewaktu premiere, hingga perannya sebagai ibu. Berikut ini petikannya.

Mengapa membuat Sekala Niskala?

Sebenarnya nekat saja. Saya memang berangkat dari kata-kata itu, tapi enggak kepikiran sampai akhirnya judulnya itu. Sekala Niskala (tampak dan tak tampak) memiliki nilai filosofis yang sangat tinggi di Bali. Jujur saja saya takut saat premiere di Bali. Saya terlihat cool padahal deg-degan sampai gemetaran ha-ha-ha.... Saya takut salah menggambarkannya, takut dengan reaksi warga Bali. Apalagi mitra kreatif menyarankan diganti judulnya, seperti Tantri dan Tantra, supaya lebih rileks. Tapi, menurut saya, masih lebih pas Sekala Niskala. Jadi, saya pasrah saja seperti anak baru belajar. Saya juga bilang, "Kalau salah, saya dimarahi saja, Pak."

Reaksi yang didapat saat itu?

Alhamdulillah responsnya bagus. Menurut mereka, film ini mengambil kultur Bali, bukan hanya lokasinya yang di Bali dan aktor utamanya orang Bali, tapi mampu melihat Bali dari sisi berbeda. Di satu sisi, Bali memiliki karakter yang dinamis dan berwarna. Di sisi lain, sangat meditatif, holistik, sarat dengan nilai filosofis. Bagi mereka, film ini lebih pas. Semoga warga Bali berkenan.

Bagaimana mengenal kata-kata sekala dan niskala ini?

Lewat riset. Awalnya saya tidak terlalu suka Bali, ada ruang yang tidak saya suka. Tapi begitu berbicara dan kenal dengan orang Bali, orang-orang itu yang bikin saya ingin selalu kembali ke sana. Mereka sangat terkoneksi dengan semesta dan kultur. Itu tidak saya temukan di Jakarta. Dari situ, saya meriset lebih dalam tentang Bali. Saya beli bukunya, lalu menemukan itu.

Apa yang membuat Sekala Niskala membutuhkan lima tahun proses produksi?

Tiga hal yang bikin panjang. Pertama, proses kreatifnya yang panjang karena film ini tidak dimulai dari cerita yang utuh. Saya ingin lebih dalam menggali diri saya, mengenal diri saya sebagai orang Asia, sebagai orang Indonesia, sebagai orang Timur. Sampai saya menemukan filosofi Bali mengenai keseimbangan. Bahwa hidup itu seimbang. Ada yang bisa dilihat, ada yang tidak bisa dilihat, dan semua itu harmonis. Nah, filosofi semacam ini yang digali untuk film ini.

Bahwa dunia mistis itu ada?

Meski kita bukan orang Bali, kita juga mempercayai itu, bahwa ada hal yang lebih besar dari yang manusia pahami, yaitu bagaimana alam semesta bekerja. Hal mistis dan kepercayaan itu selalu hadir, dan itu yang bikin kita terkoneksi. Filosofi ini sangat pas untuk saya, tapi sulit sekali memvisualisasinya, cerita ini mau dinarasikan lewat apa, bagaimana gambarannya. Hingga akhirnya menemukan unsur cerita, unsur artistik, musik, dan suara, lalu menyatukannya untuk membuat satu cerita yang utuh.

Anda sendiri punya pengalaman mistis?

Saya percaya ada kekuatan alam yang tidak dapat manusia jelaskan, tidak dapat dilihat, tapi dapat dirasakan. Film ini sendiri tidak akan bisa terealisasi dengan kekuatan kita saja. Sering banget kami mengalami hal-hal yang membuat terperangah. Misalnya syuting di bulan Desember. Selama persiapan, hujan sangat deras terus-menerus. Tapi, saat syuting, enggak ada hujan sedikit pun. Lalu soal pemain, hingga sebulan sebelum syuting, belum nemu pemain yang pas. Sampai tiba-tiba koreografer saya di-WhatsApp ada anak yang bisa. Saya belum casting, cuma minta memperagakan beberapa adegan, dan dia bisa. Ok, saya suka tapi masih belum jelas sekali waktu itu dan ternyata dia pemeran Tantri yang saya cari.

Kendala kedua?

Kendala kedua, soal keuangan. Cerita yang saya tawarkan tidak menarik investor karena tidak komersial dan ini tidak jelas mau bikin apa ha-ha-ha... Saya ingin menceritakannya lewat visualisasi artistik, lewat gerakan. Kalau saya buat seperti film pada umumnya yang naratif, saya khawatir ini akan menjadi film yang hanya menggambarkan tentang anak yang sakit. Ini sama sekali tidak menggambarkan ide saya.

Solusinya?

Kami mencari pendanaan yang independen. Film yang hendak saya buat ini membutuhkan kemerdekaan. Hingga akhirnya bisa syuting dengan dana sekitar Rp 400 juta. Ini ukurannya mikro untuk produksi sebuah film skala sinema. Kami tidak menyewa penginapan saat syuting, hanya menyewa dua rumah di dekat sawah.

Dari mana dananya?

Kami mendapatkan dukungan dari Hubert Bals Fund, Asia Pacific Screen Awards Children's Film Fund, Cinefondation La Residence, dan Doha Film Institute. Kami juga dibantu oleh lembaga dari Jepang yang mengirim orang untuk bantu bikin art music. Lalu dibantu juga oleh Pusbang Film untuk bikin salinannya. Selain itu, kami kumpulkan dana sedikit demi sedikit selama lima tahun.

Tantangan lainnya?

Kendala ketiga adalah kehidupan pribadi, karena mayoritas yang terlibat adalah perempuan. Seperti saya sendiri, yang menulis film ini dari masih lajang sampai sudah punya dua anak. Dari situ saja sudah kelihatan jedanya banyak sekali. Demikian pula dengan produser sampai koreografer.
Film dituturkan dari sudut pandang Tantri. Bagaimana menempatkan nilai filosofis yang tinggi ke dalam kacamata anak-anak?

Ini cerita lain dari filmnya, ya. Saya memang suka banget dengan perspektif anak-anak. Di Eropa, sangat tabu mendekatkan anak-anak dengan kematian. Seharusnya kita sebagai orang Asia bisa lebih merdeka mengeksplorasi hal tersebut. Sadarkah kita jika anak-anak ini dekat sekali dengan konsep kematian?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Misalnya?

Jangan main ke luar rumah kalau sudah magrib, karena ada wewe gombel yang berkeliaran. Ini semacam paradoks: kita tidak mau mendekatkan anak-anak dengan kematian, tapi menggunakan mitos yang lekat dengan kematian. Ketika sudah menikah, saya bertanya, sebagai perempuan untuk apa saya bikin film ngomongin anak dan kematian. Ini berat banget. Tapi saya kembali ke ide awal, lalu bertanya, siapa sih kita? Siapa anak-anak kita? Kalau melihat filmnya, sebenarnya kita sangat dekat dengan hal itu, anak-anak pun sudah sangat biasa dengan hal itu.

Anda juga berdiskusi dengan anak-anak?

Saya hanya harus cukup tahu bahwa mereka sebenarnya cukup dekat dengan konten ini. Ya saya bertanya ringan saja, seperti pernah tahu cerita horor atau tidak, bagaimana mereka mengimajinasikannya. Sebenarnya Sekala Niskala tentang merayakan kematian dan kehidupan. Sebuah siklus hidup yang memang harus kita hadapi.

Mengapa memilih kembar buncing untuk menceritakannya?

Kembar buncing ini di beberapa tempat dianggap sebagai anugerah, di tempat lain sebagai kesialan sehingga mesti diruwat. Ini menggambarkan sesuatu yang seimbang. Ini ideal untuk digambarkan melalui perspektif anak-anak, karena kalau sudah dewasa kesannya kok agak seperti inses, ya.
Sulit mendapatkan figur yang pas?
Saya beberapa kali melakukan casting. Ada yang bagus koreografinya tapi aktingnya enggak dapet. Ada juga yang sebaliknya. Begitu dapet, saya merasa ini gila, ternyata ada orang yang sesuai imajinasi saya. Padahal hanya lewat telepon saja lalu merasa klik.

Apa yang bikin klik?

Mimiknya, gesturnya, mood-nya. Film ini temponya sangat lambat. Kenapa? Karena temponya Thaly (Thaly Titi Kasih, pemeran Tantri) memang begitu. Dia lebih lambat dari tempo yang saya buat. Tapi itu yang membuat dia jadi pas banget dengan Tantri. Ada satu waktu saat ketemu langsung dengan dia, saya iseng tanya apa warna favoritnya. Dia jawab hitam. Ah, ini Tantri yang saya cari. Saya enggak tahu siapa yang datangkan dia, tapi dia yang dicari setelah sekian lama. Aneh, kan?

Dalam film ini ada banyak simbol yang hadir, menggambarkan apa saja?

Di Bali ada dongeng Putri Tantri tentang binatang yang ditujukan untuk raja yang tidak bisa tidur. Dialog komunikasinya saya buat seperti Putri Tantri yang sedang bercerita melalui gerakan binatang. Ada ayam, monyet, kupu-kupu. Nah, ini kalau yang menyajikan orang dewasa, agak aneh. Ada bulan juga. Kehidupan di Bali sangat lekat dengan bulan, misalnya kalender untuk menentukan upacara menggunakan kalender bulan. Jadi, bulan ini seperti center point mereka.

Simbol telur?

Simbol telur ini menggambarkan kehidupan. Tapi ada juga kisah pribadi di situ. Telur dekat sekali dengan kehidupan saya, dan anak-anak pada umumnya. Dulu, waktu makan telur dengan adik, saya makan putihnya, dia makan kuningnya.

Bagaimana mengatur keseimbangan aktivitas Anda dengan anak-anak?

Saya sangat sadar lahir di dunia film, apalagi anak-anak saya. Ya ibunya, bapaknya, kakeknya, ada di dunia ini. Satu hal yang perlu saya pastikan, mereka mengerti tujuan saya. Makanya sebisa mungkin saya ajak anak-anak. Penting untuk mereka tahu setiap prosesnya. Binar, dari sejak dia berusia dua minggu, sudah saya ajak buat mixing.

Lalu?

Saya tidak tahu apakah ini sepadan. Tapi cukup kaget ketika Rintik ingin melihat filmnya. Bahkan dia mau selalu ikut dalam apa pun kegiatan terkait dengan film ini. Sewaktu dia nonton sendiri, dia bilang filmnya bagus. Saat memenangi penghargaan pun dia berkali-kali ucapkan selamat, sampai sebelum dia tidur pun dia bilang, "Ibu selamat, ya."

Anda bekerja dengan suami dalam film ini. Bagaimana dinamikanya?

Proses kami sangat organik. Karena dia mengikuti proses ini dari awal, saya rasa tidak ada yang memahami sebaik dia. Jadi, bekerja bersama sangat mudah karena kita sudah sevisi. Pasti ada perselisihan paham. Tapi perselisihan itu kan untuk membuat kita bergerak selangkah lebih maju, bukan untuk melangkah mundur.

Kapok atau ketagihan bikin film seperti ini lagi?

Saya merasa senang membuatnya, meski banyak sekali kendalanya tapi setiap kali berhasil mengatasinya, kita bertumbuh lebih baik lagi. Tapi mungkin ini terakhir kalinya saya bikin film seperti ini. Karena teknologi sudah berubah. Saya membuat film ini untuk sinema, tapi orang sekarang menonton lewat YouTube, lewat telepon genggam, laptop. Jadi, saya rasa sudah tidak relevan lagi.

Tapi tetap akan bikin film di jalur art house, kan?

Tetap. Saya tidak akan berpindah jalur, karena saya menyadari keberagaman film itu penting. Membuat film art ini paling susah ketimbang art lainnya. Kalau lukisan, orang yang tidak mengerti bisa baca deskripsi, lalu selfie. Berbeda dengan film, mereka tidak mengerti tapi bisa ngomong. Mereka cenderung merasa lebih mengerti, lebih mudah judging sebuah karya, lebih mudah merasa bisa bikin yang lebih baik. Kegagapan ini terjadi karena kurangnya keberagaman dalam film kita. Akhirnya gagap, bingung bagaimana mencernanya. Jadi wajar ketika ada yang berbeda menginterpretasikannya. Ini gunanya saya akan terus membuat film di jalur ini.

Tulisan ini sudah dimuat di Koran Tempo edisi Akhir Pekan pada 3 Maret 2018 dengan judul Kamila Andini: Film Ini Butuh Kemerdekaan

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Sinopsis Film YUNI yang Pernah Raih Penghargaan Toronto International Film Festival

3 Januari 2024

Film Yuni. Foto: Fourcolours Films/Starvision.
Sinopsis Film YUNI yang Pernah Raih Penghargaan Toronto International Film Festival

Film YUNI ini bercerita tentang seorang gadis SMA bernama Yuni yang memiliki mimpi besar.


4 Film Kamila Andini Tayang di Program Khusus Jogja-NETPAC Asian Film Festival

8 November 2023

Bioskop Online hadirkan program Focus On: Kamila Andini, sebagai bagian dari Road to JAFF18 (Jogja-NETPAC Asian Film Festival). Dok. Bioskop Online
4 Film Kamila Andini Tayang di Program Khusus Jogja-NETPAC Asian Film Festival

Program Focus On: Kamila Andini menjadi bagian dari Road to Jogja-NETPAC Asian Film Festival yang hanya tayang di Bioskop Online.


5 Fakta Menarik Serial Gadis Kretek, Tayang di Netflix Hari Ini

2 November 2023

Gadis Kretek. Dok. Netflix
5 Fakta Menarik Serial Gadis Kretek, Tayang di Netflix Hari Ini

Para pemain, kreator hingga perwakilan Netflix mengungkapkan fakta menarik dari serial Gadis Kretek yang diangkat dari novel karya Ratih Kumala.


Serial Gadis Kretek Tayang November di Netflix, Adaptasi dari Novel Ratih Kumala

11 Agustus 2023

Dian Sastrowardoyo dalam poster serial Gadis Kretek. Dok. Netflix
Serial Gadis Kretek Tayang November di Netflix, Adaptasi dari Novel Ratih Kumala

Dibintangi Dian Sastrowardoyo, serial Gadis Kretek hadirkan kisah cinta dengan latar belakang industri kretek era 1960-an.


Ingin Banyak Sineas Indonesia, Ifa Isfansyah Buka Program D3 Produksi Film di Jogja Film Academy

26 Mei 2023

Suasana produksi film. Foto: Jogja Film Academy,
Ingin Banyak Sineas Indonesia, Ifa Isfansyah Buka Program D3 Produksi Film di Jogja Film Academy

Ifa Isfansyah menilai perkembangan film Indonesia berimbas pada semakin banyak membuka lapangan kerja untuk pekerja film.


Netflix Hadirkan Sineas Perempuan Inspiratif dari Berbagai Negara dalam Reflections of Me

18 Maret 2023

(kiri ke kanan) Amy Kunrojpanya, Marla Ancheta, Eirene Tran Donohue, Kamila Andini, Manatsanun 'Donut' Phanlerdwongsakul, Anupama Chopra, Marissa Anita, dan Sakdiyah Ma'ruf dalam acara Netflix yang bertajuk Reflections of Me, Kamis, 16 Maret 2023. TEMPO/Marvela
Netflix Hadirkan Sineas Perempuan Inspiratif dari Berbagai Negara dalam Reflections of Me

Kreator dari berbagai film dan serial Netflix Asia Tenggara berbagi kisah menarik soal pengaruh positif keterlibatan perempuan dalam industri kreatif.


Tekad Kamila Andini untuk Bisa Wakili Perasaan Para Perempuan Lewat Filmnya

17 Maret 2023

Sutradara, Kamila Andini dalam acara Reflections of Me yang digelar oleh Netflix untuk merayakan Hari Perempuan Internasional, Kamis, 16 Maret 2023. Dok. Netflix
Tekad Kamila Andini untuk Bisa Wakili Perasaan Para Perempuan Lewat Filmnya

Sebagai sutradara, Kamila Andini memiliki alasan tersendiri mengapa selalu menciptakan karakter utama perempuan dalam setiap filmnya.


3 Rekomendasi Film yang Dibintangi Laura Basuki Selain cek Toko Sebelah 2

9 Januari 2023

Teaser film Susi Susanti yang diperankan oleh Laura Basuki. Instagram
3 Rekomendasi Film yang Dibintangi Laura Basuki Selain cek Toko Sebelah 2

Laura Basuki telah membintangi sejumlah judul layar lebar. Beragam penghargaan pun berhasil diraihnya. Kini ia bermain di film Cek Toko Sebelah 2.


Pengumuman Pemenang Film Pilihan Tempo 2022: Autobiography, Film Pilihan Tempo 2022

18 Desember 2022

Poster film Autobiography yang menampilkan Kevin Ardilova dan Arswendy Bening Swara sebagai pemeranutama. Dok. Fellow Design Studio
Pengumuman Pemenang Film Pilihan Tempo 2022: Autobiography, Film Pilihan Tempo 2022

Autobiography karya debut dari sutradara Makbul Mubarak menjadi Film Pilihan Tempo 2022.


Before, Now & Then (Nana) Film Terbaik Festival Film Indonesia 2022, Kemenangan Bagi Perempuan

22 November 2022

Poster film Before, Now & Then. Foto: Instagram Kamila Andini.
Before, Now & Then (Nana) Film Terbaik Festival Film Indonesia 2022, Kemenangan Bagi Perempuan

Christine Hakim, Ketua Dewan Juri FFI 2022 menuturkan alasannya memilih Before, Now & Then (Nana) sebagai film terbaik Festival Film Indonesia.