TEMPO.CO, Jakarta - Sineas Slamet Rahardjo dan penyair senior Sapardi Djoko Damono sudah lama mengenal satu sama lain, sampai mereka punya panggilan khusus masing-masing.
“Saya senang karena dia memanggil saya dengan panggilan khusus: friend,” kata Slamet Rahardjo seusai perayaan 77 tahun Sapardi Djoko Damono di Bentara Budaya Jakarta, Rabu, 22 Maret 2017 malam. “Dan saya pun memanggil dia ‘friend’. Itu suatu kedekatan yang tidak bisa dibayangkan,” kata Slamet Rahardjo.
Beberapa tahun silam, Sapardi Djoko Damono pernah membuat esai panjang mengenai hubungan teater, film dan televisi dengan kegiatan Slamet Rahardjo di dalamnya selama lebih dari 40 tahun. “Jadi Slamet Rahardjo esainya dibuat oleh Sapardi Djoko Damono, aku bangga luar biasa,” kata Slamet Raahardjo.
Meski Slamet rahardjo juga seniman, puisi bukanlah bidang yang dikuasainya sehingga ia kagum pada sosok seperti Sapardi Djoko Damono. “Saya enggak bisa bikin puisi, otaknya macet kalau disuruh bikin,” kata Slamet rahardjo yang mengenal Sapardi Djoko Damono, karena dulu dia sering datang ke kampus tempatnya Sapardi Djoko Damono mengajar.
Puisi Sapardi Djoko Damono yang paling ia suka adalah “Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari” yang dimaknai Slamet Rahardjo sebagai peran alam bagi umat manusia. Menurut Slamet Rahardjo, puisi itu punya makna alam selalu memberi, tapi tidak pernah meminta pada manusia. Sementara manusia yang terus diberi, tidak bisa membalas kebaikan alam, justru mengotorinya.
Hal itu, kata dia, direkam Sapardi Djoko Damono dengan baik dalam puisinya. Seperti puisinya yang sederhana namun memukau, itulah kesan Sapardi Djoko Damono di mata Slamet Rahardjo. “Orangnya hebat, tapi biasa-biasa saja. Seperti puisinya, sederhana tapi mantap.” *