TEMPO.CO, Jakarta - Rencana pengalihan tanggung jawab administratif Taman Ismail Marzuki dari Badan Pengelola Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (BP-PKJ TIM) ke tangan unit pengelola teknis (UPT) masih menuai protes dari para seniman.
Pada Jumat sore, 6 November 2015, sekelompok seniman berunjuk rasa di depan Gedung Teater Jakarta, TIM, dengan melakukan orasi kebudayaan dan pembakaran lukisan untuk memprotes keputusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tersebut.
Sastrawan Radhar Panca Dahana, mewakili para pengunjuk rasa, menuntut Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mencabut keputusan tersebut. Radhar mengungkapkan bahwa pengelolaan TIM di tangan UPT hanya akan menghambat daya kreatif seniman dengan birokasinya yang mengungkung kebebasan seniman.
“Dari dulu (selama TIM dikelola BP-PKJ TIM) semua berjalan baik. Dari dulu BP pun dipimpin seniman terkemuka,” ujarnya kepada Tempo setelah aksi unjuk rasa itu.
Radhar juga mengkritik Ahok yang pernah mengatakan pengelolaan TIM selama ini tidak becus. Padahal, menurut Radhar, selama setengah abad TIM berdiri dan dikelola BP-PKJ TIM, banyak seniman dan pemikir besar lahir di TIM.
“Jadi, jika ada seseorang mengatakan bahwa TIM dikelola dengan tidak becus, saya rasa yang tidak becus adalah pikiran orang itu karena dia tidak mengakui sejarah itu dan menganggap dirinya lebih baik, lebih hebat, lebih luar biasa ketimbang orang-orang besar yang dilahirkan di TIM ini,” ucap peraih penghargaan Frix de le Francophonie (2007) itu.
Radhar mengatakan para seniman telah melayangkan surat terbuka kepada Ahok. Selain itu, para seniman menuntut pertemuan bersama Ahok untuk membahas persoalan ini bersama-sama.
“Selama ini dia tidak mau bicara dengan kami. Pembicaraan selalu diwakili pembantu-pembantunya yang tidak mengerti persoalan ini. Itu berarti Ahok melecehkan dan menyepelekan seniman dan kebudayaan,” ucap Radhar.
Dalam unjuk rasa tersebut, para seniman menilai beberapa hal yang merugikan seniman perihal penyerahan TIM kepada UPT. Pertama, pengurus UPT adalah pegawai negeri yang tidak punya latar belakang kesenian. Kedua, aktivitas kesenian akan diawasi dan dikenai pajak, dari perizinan, pemasangan poster, hingga pementasan. Selain itu, pengurus UPT dikenai jam kerja sampai pukul 4 sore, sedangkan kegiatan seniman banyak diadakan pada malam hari.
Karena itu, para seniman merasa diusir dari TIM yang selama ini menjadi rumahnya untuk berekspresi. “Padahal ini rumah seniman, bukan rumah pegawai atau birokrat. Birokrat atau pegawai itu hanya membantu dan mendukung seniman. Ini ruang kebebasan seniman,” tuturnya.
LUHUR TRI PAMBUDI