Komunitas Sapi Berbunyi sengaja memilih sekolah-sekolah sebagai ruang pertunjukan pada hari jadinya itu. Sekolah dan para siswa diasumsikan sebagai penerus bangsa, yang perlu mendapat perhatian serta pembinaan yang baik dari negara. Tapi yang terjadi justru berbeda. Kasus-kasus kekerasan oleh geng motor mendapat perhatian besar. “Pertunjukan ini adalah bagian dari kritik terhadap pemerintah dan para pemimpin atas kondisi negara yang kacau.”
Pertunjukan tersebut berhasil menghibur siswa dan guru SMPN 6, meski digelar di bawah terik sinar matahari. Rasa terkesan di antaranya disampaikan Tasya Ramatea, siswa kelas IX. “Saya sangat senang pada saat pembacaan esai karena kami dilibatkan dengan menyebutkan kata-kata,” kata dia.
Pertunjukan juga diisi kepiawaian Hamrin Samad, juga pendiri Komunitas Sapi Berbunyi, dalam memainkan didgeridooalat musik tiup khas suku Aborigin, Australia. Dari hasil penelusuran sejarah dan pengakuan suku Aborigin, kata Hamrin, setiap bait ataupun ritme yang dikeluarkan oleh suara didgeridoo mempunyai pesan tersirat. “Dulunya, alat musik ini digunakan suku Aborigin dalam ritual-ritual keagamaan, upacara, duka, dan perang,” kata dosen seni di Universitas Negeri Makassar itu.
Asdar mengatakan pertunjukan Komunitas Sapi Berbunyi kadang tanpa naskah dan nyaris tanpa batasan. Komunitas yang digagas Asdar, Hamrin, Solihin, Basri B. Sila, Arifin Manggau, dan beberapa seniman ini tidak dipatrikan pada satu jenis karya seni. Bagi mereka, seni pertunjukan adalah soal memainkan karya seni apa pun sesuai dengan keinginan. Asdar menyebut konsep ini sebagai “legislatif teater”. “Tidak ada penonton dalam pertunjukan kami, karena kami selalu melibatkan penonton dalam setiap pertunjukan,” kata dia.
SUTRISNO ZULKIFLI
Berita lain:
Sesuai Target, Hendra/Ahsan Sabet Medali Emas
Raih Medali Emas Kedua, Indonesia Naik Rangking 14
Tontowi/Liliyana Siap Hadapi Pemain Cina di Final