TEMPO.CO, Makassar - Riuh teriakan dan tepukan tangan siswa memenuhi halaman Sekolah Menengah Pertama Negeri 6 Makassar, Kamis lalu. Di hadapan mereka, para penggiat Komunitas Sapi Berbunyi menggelar pertunjukan tanpa naskah untuk memperingati usia komunitas itu yang genap 13 tahun.
Satu di antara sejumlah penggagas Komunitas Sapi Berbunyi, Asdar Muis R.M.S., memulai pertunjukan Memulung Kata itu. Hasilnya, terkumpul 33 kata secara acak dari para siswa. Seniman bertubuh tambun ini kemudian merangkai kata tersebut menjadi sebuah esai. Instrumen musik gitar dan jimbe, serta sorak kagum para siswa, turut mengiringi Asdar.
Diksi yang cukup “nakal” dan familier di telinga siswa tak jarang menghadirkan gelak tawa. Bukan hanya siswa, guru yang hadir pun tampak sangat menikmati pertunjukan. “Aku lupa bahwa aku masih SMP, jadi tidak bisa memakai rok,” bunyi sepenggal esai berjudul “Kehidupan” yang diciptakan Asdar.
Pertunjukan tanpa naskah itu lalu berlanjut. Berikutnya adalah sebuah esai bertema pendidikan. Kali ini, Asdar meminta para siswa menyanyikan lagu nasional Indonesia Pusaka. Nyanyian itu terbukti menambah antusiasme siswa. Apalagi saat Asdar membacakan esainya yang rampung kemudian. “Para pemimpin tidak menyiapkan masa depan yang baik untuk kita,” kata Asdar dalam esainya itu. Dia menghayatinya, berusaha menyatu dengan nyanyian Indonesia Pusaka.
Esai-esai berikutnya bertema demokrasi, pendidikan, korupsi, kekacauan, pelajar, dan geng motor. Asdar menggunakan karyanya itu untuk menyampaikan keyakinannya, di antaranya, “Ulah geng motor tidak salah. Yang salah itu negara. Sebab, negara tidak menyiapkan rasa aman, damai, tenteram, serta tidak mempersiapkan diri untuk menerima generasi lanjutan.”