Dalam menyajikan monolog, kata Luna, seseorang harus yakin dengan setiap kalimat yang diucapkannya. “Monolog itu bercerita tentang apa yang sedang kita kerjakan, tidak sekadar menceritakan,” ujar perempuan kelahiran Danau Sentani, Papua ini. Jika cerita disampaikan dengan penuh keyakinan dan berirama, kata Luna, akan membantu penonton menerima pesannya.
Mengucapkan setiap kalimat, Luna melanjutkan, ada baiknya jika memindahkan pengalaman emosional kita yang berhubungan dengan kata-kata tersebut. Artinya, di kepala, kita menciptakan suasana yang ingin disampaikan. Misalnya, kalimat tentang kesepian, maka kita perlu mengingat pengalaman tentang kesepian itu. “Kita harus cari sesuatu yang dekat dengan kita, yang kita sendiri kenal dan tahu, seperti kebiasaan. Apa yang dirasakan saat itu seharusnya dipakai saat bercerita.” Sebab, menyimpan emosi dalam setiap kata adalah kekuatan dalam bercerita.
Tak sekadar kata dan pesan, dalam panggung monolog seorang aktor juga harus bisa menghadirkan lebih dari satu karakter. Siasat ketika berganti peran, Luna menambahkan, bisa dengan berpindah posisi, mengubah nada suara, atau dengan gestur (sikap atau gerak-gerik). Kita bisa berganti peran tanpa memberi tahu penonton. Mereka akan mengerti. Misalnya, karakter perempuan dan laki-laki. Saat menjadi perempuan, kita bisa mengambil posisi duduk. Sedangkan laki-laki bisa diperankan dengan posisi berdiri.