TEMPO Interaktif, Surakarta - Usia 26 tahun untuk sebuah sanggar kesenian bukanlah usia muda. Sanggar Maniratari telah cukup banyak makan asam garam di dunia tari. Mereka menyuguhkan karya bertajuk "Maniratari Melangkah" di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta, Jumat, 15 Juli 2011.
Salah satu karya yang ditampilkan dalam pementasan tersebut adalah tarian berjudul "Nunggu Bis" karya Ismay Dian. Karya tersebut merupakan garapan pertamanya, setelah lima tahun bergabung dengan kelompok tersebut.
Baca Juga:
Dalam pementasan tersebut, mereka menyulap panggung menjadi sebuah halte bus. Sebuah atap bertuliskan "Solo Berseri" dipasang dengan bangku panjang yang terletak di bawahnya. Melalui karya tersebut, Ismay mencoba memotret perilaku masyarakat di halte bus melalui sebuah gerak tari teater.
Tari kontemporer itu dimainkan oleh tiga penari ditambah satu orang yang berperan sebagai pengecer koran. Gerakannya cukup atraktif dengan iringan lagu-lagu pop. Gerakan kaki cukup dominan, ditambah gerakan memutar dan melompat yang cukup sempurna.
Pendiri Maniratari, Wied Sendjayani, memang menekankan gerak tari berbasis jazz dan balet. Dipadu dengan tarian kontemporer, sajian tari yang mereka persembahkan terlihat sangat unik. Bermacam perilaku manusia di halte bus mereka gambarkan dalam pertunjukan berdurasi hampir sejam itu. Pengecer koran yang menjajakan dagangannya menjadi pembuka adegan tanpa dialog itu.
Ismay juga memotret kegelisahan calon penumpang yang resah lantaran bus yang dinanti tidak kunjung datang. Tidak hanya itu, dia juga menggambarkan hubungan antarpenumpang yang terlibat cinta lokasi lantaran setiap hari bertemu.
Tidak ketinggalan aksi saling dorong para penumpang yang berebut naik kendaraan juga turut diceritakan. Ada pula adegan seorang wanita yang terjatuh dan menderita luka di kakinya. “Berjuta kisah bisa saja terjadi di sebuah halte,” kata Ismay.
Sebagai karya pertama, Ismay berusaha keras untuk menciptakan suguhan yang sempurna. Lulusan Akademi Bahasa Asing Pignatelli Surakarta itu perlu waktu tiga bulan untuk observasi sekaligus memproses karyanya.
Bagi Wied Sendjayani, hasil karya siswa asuhannya ini dianggap sangat memuaskan. “Mereka harus segera melangkah menggantikan saya,” kata wanita berusia 63 tahun tersebut. Itu sebabnya mengapa pementasan yang meraih hibah seni Kelola tersebut digelar dengan tajuk "Maniratari Melangkah".
Wied Sendjayani memang sudah cukup lama berkecimpung di dunia seni. Wied adalah sosok yang aktif, mahir melukis, berteater, serta pernah mempelajari teknik tari modern jazz dan balet klasik di Escuela Centro de Dansa Madrid, Spanyol. Ketika berada di Jerman dan Austria, Wied mengambil kursus tari dan mengisi pertunjukan musim panas di Finlandia dan Norwegia serta mengikuti festival tari di Kalsruhe, Jerman, dan Maseru, Lesotho, Afrika Selatan.
Kembali ke Indonesia pada 1985, Wied mendirikan sanggar Maniratari. Lebih dari seratus penari yang telah dilatihnya. Namun saat ini, jumlah anggota di sanggarnya bisa dihitung dengan jari.
AHMAD RAFIQ