TEMPO Interaktif, Medan - Kota Medan sedang berpesta. Tak hanya merayakan ulang tahun kota ke-421 tahun yang jatuh tepat 1 Juli lalu, masyarakat penggemar jazz di Medan juga punya hajatan sendiri. Jumat dan Sabtu lalu, mereka menggelar festival jazz, North Sumatra Jazz Festival 2011.
Inilah festival jazz berskala nasional pertama yang dihelat di kota tersebut. Bertempat di Convention Centre Hotel Danau Toba International, Medan, festival ini mengusung tema “Discover Indonesia Experience”. Sejumlah musisi jazz dari Jakarta, baik Ligro, Donny Suhendra Project, Emerald Bex, KSP feat Idang Rasjidi, maupun Yovie Widianto Fusion, turut meramaikan festival ini. Tak ketinggalan penampilan SUHU Band dari Malaysia.
Sesuai dengan tema yang diusung, festival ini menghadirkan Sruti Respati dan teman-teman. Pendendang jazz dan sinden dari Solo ini memberi warna musik yang berbeda dalam pertunjukan itu. Sruti, yang menggandeng Denny Chasmala, Bintang Indrianto, Saat “Borneo” Syah, dan lainnya, menampilkan lagu-lagu Jawa yang digarap dengan unsur jazz. Sebut saja lagu Jamuran, yang dibawakan secara medley dengan lagu Cublak-Cublak Suweng, hingga Suara Suling karya Ki Nartosabdo. Mencampurkan unsur etnik dalam garapan jazz fusion, mereka punya semangat mengeksplorasi.
Jazz, musik yang lahir di kalangan para budak asal Afrika di ladang-ladang kapas Amerika ini memang telah menjadi lentur. Jazz menjadi sangat terbuka oleh pengaruh genre musik apa pun dan jazz akan menerimanya.
SUHU Band dari Malaysia, misalnya. Mereka mempersembahkan sajian musik yang kental dengan warna Melayu. Sebut saja lagu Ala Canggung dan Mas Merah. Seperti Sruti, SUHU Band mengolah karakter yang kental etnik itu dengan musik modern.
Festival ini adalah hajatan masyarakat jazz Medan. Tentu, musisi tuan rumah turut serta berpesta. Mereka ada Erucakra Mahameru & C-Man, Ethno Big Band, Progressive Band, serta Kolegium Musikum.
"Medan punya potensi lokal yang tidak kalah menarik. Bukan melulu karena central ethnic-nya," ujar Direktur Festival Gideon Momong. Menurutnya, potensi lokal bukan berarti harus kental akan warna etnik. Jazz Indonesia, dia menambahkan, adalah musik jazz yang dimainkan oleh orang Indonesia. Maka tak mengherankan jika Gideon, yang juga pernah menggarap Malacca Strait Jazz di Pekanbaru pada 2008, membuat konsep festival kali ini adalah jazz yang segar, muda, dan modern.
Maka sederet musisi jazz nasional ini mampu menjadi magnet bagi masyarakat jazz Medan. Ligro, misalnya, yang berpentas pada hari pertama festival itu. Trio yang terdiri atas Adi Darmawan (bas), Agam Hamzah (gitar), dan Gusti Hendy--penggebuk drum band GIGI--ini mendapat sambutan yang hangat. Apalagi trio jazz ini berani menampilkan pertunjukan musik yang eksploratif dengan memainkan bebunyian yang tak lazim lewat lembaran seng, paku, dan pemukulnya. Yovie Widianto Fusion hadir menutup festival tersebut. Namun sayang, waktu pertunjukan mereka sudah terlalu larut. Banyak penonton mulai beranjak meninggalkan tempat pergelaran musik jazz itu.
Ya, mereka menggelar hajatan besar ini di dalam gedung. Tak dimungkiri, sebuah festival musik dengan multi-performance umumnya diadakan di area publik. Namun, rupanya penyelenggara punya pertimbangan lain. Cuaca Kota Medan yang tidak menentu menjadi faktor yang memberatkan mereka.
Dion, sapaan akrab Gideon, mengatakan sempat terpikir untuk mengadakan festival ini di tepi Danau Toba. Tapi, lagi-lagi cuaca tak memungkinkan. Bahkan di Kota Medan banyak tempat yang menarik. Ia sempat berpikir untuk menggelar festival perdana ini di sepanjang Jalan Kesawan. Tempat tersebut adalah wilayah Pecinan dan kota tua di pusat Kota Medan.
Akan sangat menarik jika festival perdana ini bisa digelar di tempat-tempat publik yang unik semacam itu. Gaungnya akan terasa lebih menggebrak. Namun, barangkali penyelenggara punya pertimbangan lain.
ISMI WAHID