TEMPO Interaktif, Yerusalem - "Kamu gila! Itu bahaya, kan?" Inilah reaksi yang saya terima dari sebagian besar orang ketika saya mengatakan bahwa saya hendak pergi ke Bethlehem pada malam hari untuk menemui dan mewawancarai para penyanyi muda berbakat yang tampil di sebuah reality show yang sangat populer di Palestina, New Star.
New Star, yang formatnya mirip American Idol, adalah konsep baru bagi orang Palestina. Acara ini bisa menjadi ajang generasi muda yang lebih sekuler untuk memamerkan talenta mereka dan mempersatukan sebuah bangsa yang terserak di Tepi Barat, Gaza, Israel dan tempat lain. New Star yang disebarluaskan lewat satelit ke beberapa negara di kawasan dengan cepat menjadi sebuah sensasi budaya Arab.
Selaku seorang jurnalis, saya tidak ragu kalau cerita ini harus diberitakan. Namun, pada saat yang sama, selaku seorang Yahudi dan warga negara Israel, saya sadar kalau bepergian ke sebuah kota di bawah kendali Palestina, malam-malam dan sendirian, memang tampak "sedikit gila".
Malam sebelum penugasan liputan, saya berpikir keras dan lama. Saya membayangkan ke mana saya pergi: Palestinian Convention Centeryang baru di Kfar al-Khadar, di selatan Bethlehem, tempat acara ini disiarkan langsung setiap minggunya. Tempat ini hanya berjarak 27 kilometer dari rumah saya dan berada di pinggiran Yerusalem. Namun, membayangkan melewati pos pemeriksaan Israel menuju jalan raya yang membentang gelap ke wilayah Palestina membuat saya ngeri. Empat orang Israel, termasuk seorang wanita hamil, dibunuh oleh para ekstremis di jalan itu musim panas yang lalu.
Saat saya merenung, naluri jurnalis saya bicara. Saya memutuskan bahwa demi mewartakan cerita-cerita yang paling menarik, wartawan harus mengambil kesempatan. Saya rasa ini akan memberikan wawasan yang menginspirasi. Tidak saja tentang pesona sebuah lomba menyanyi yang digemari, yang menggambarkan sisi lembut sebuah masyarakat yang sering dilihat sebagai para pejuang atau korban serangan, tetapi juga karena pada intinya ini menunjukkan bagaimana orang-orang dari semua agama dan bangsa bisa berkumpul bersama, bahkan di daerah yang masih dibayang-bayangi konflik.
Acara ini juga menunjukkan sebagian kompleksitas fisik dan filosofis yang ada di sini, seperti seorang finalis dari Gaza yang terpaksa tampil lewat sambungan satelit dan orang-orang Arab di Israel yang kini berani mengidentifikasikan diri mereka sebagai orang Palestina.
Di belakang layar pun, berbaurnya orang-orang juga menandakan sebuah wilayah tempat tidak ada yang hitam dan putih. Staf dari acara ini, yang diproduksi oleh kantor berita Palestina Ma'an bersama dengan Mix TV, sebuah perusahaan di Haifa yang dimiliki oleh dua warga Arab bersaudara di Israel, merupakan perpaduan orang-orang Palestina, Palestina-Israel dan Yahudi-Israel, yang memandang program ini hanya lewat kacamata profesional.
Berkat dorongan seorang teman dari Ma'an, saya merasa ringan saja untuk berangkat demi menulis berita dari sudut pandang yang berbeda. Kami bertemu setelah saya melewati pos pemeriksaan Israel dan ia pun memandu saya melewati pos pemeriksaan Palestina. Ia juga menemui seorang polisi Palestina dan memastikan kalau saya aman-aman saja.
Saat saya melewati kerumunan penggemar menuju auditorium, saya merasa seolah-olah pergi ke sebuah acara di tempat lain di dunia. Dalam busana terbaik mereka, orang-orang yang tampil jauh sekali dari gambaran yang biasanya dimiliki orang Israel tentang orang Palestina: kalau bukan buruh kasar, ya pejuang yang agresif. Terlihat dari para penonton yang memegang poster besar-besar yang menunjukkan penyanyi favorit mereka, suka ria di aula ini sangat jelas terasa.
Di belakang panggung, kelompok pekan ini-yang tersisa 12 dari 24 calon yang diseleksi dari ribuan peserta audisi-duduk dengan sabar menanti acara ini dimulai. Obrolan riang mereka tentu mengingatkan akan kelakar di belakang panggung yang terjadi di setiap acara.
Saat saya mengobrol dengan Waheed Yaseen, peserta berusia 21 tahun dari sebuah kampung kecil di Galilee, saya tahu kalau keputusan saya untuk datang memang benar. "Kita tidak punya acara seperti ini di masyarakat kita," katanya pada saya dalam bahasa Ibrani yang fasih. "Memang ada A Star is Born, tetapi dalam bahasa Ibrani. Saya ingin menyanyi dalam bahasa ibu saya, bahasa Arab."
Saya bertanya pada Yaseen bagaimana rasanya sebelum bersaing meraih tempat di final dan mudah-mudahan merebut hadiah menjadi seorang bintang. "Saya gugup, tetapi saya juga merasa percaya diri pada saat yang sama," katanya sambil tertawa, lalu menambahkan, "Saya tidak tahu bagaimana saya bisa merasakan dua hal ini pada saat yang sama, tetapi saya memang merasakan keduanya."
Saya melihat-lihat para hadirin yang campur baur dan memikirkan kembali perjalanan saya ke sini, ke sebuah kawasan di mana perjalanan berkendara 20 menit bisa membawa Anda ke sebuah dunia lain yang punya agama dan bahasa yang berbeda. Namun, pada saat yang sama, banyaknya nuansa yang sama membuat budaya itu sama akrabnya dengan budaya Anda sendiri.
* Ruth Eglash ialah wartawan senior The Jerusalem Post. Tahun lalu ia menjadi penerima pertama penghargaan X-Cultural Reporting PBB untuk sebuah cerita yang ia tulis bersama seorang jurnalis Yordania. Artikel ini disebarluaskan oleh Kantor Berita Common Ground.