TEMPO Interaktif, Jakarta Di ruang pertunjukan Goethe Institut, Menteng, Jakarta Pusat, koreografer Jecko Siompo menyuguhkan karya terbarunya, We Came from The East. Dalam pentas pada Selasa malam lalu itu, Jecko begitu bersemangat menunjukkan keterkaitan tari tradisional Indonesia dengan asal-usul hip-hop. “Cikal bakal hip-hop itu ada di Indonesia,” kata koreografer kelahiran Jayapura, Papua Barat, 4 April 1975, yang pernah belajar menari hip-hop di Potrland, Maine, Amerika Serikat itu.
Keyakinan Jecko--begitu panggilan pria bernama lengkap Jeck Kurniawan Siompo Pui itu--berawal dari sebuah informasi yang ditemukannya pada 1996. Informasi itu menyebut bahwa pemerintah Inggris pada zaman penjajahan dulu ingin membangun sebuah kota seperti New York, Amerika Serikat, di wilayah Indonesia. Tempat yang dipilih Banda. Karena alasan politis tertentu, rencana itu urung. Maka Jecko menyebut Indonesia sebagai Old York.
Jecko kemudian mempelajari tari tradisi Nusantara, dari Sabang sampai Merauke. Dari penjelajahannya itulah ia menemukan kemiripan gerakan hip-hop dengan dasar tari tradisi Indonesia.
Bahkan pada iringan musik terdengar beberapa orang dalam rekaman sedang bercakap tentang dari mana asal-usul hip-hop. Dalam percakapan yang sebetulnya hampir mirip dengan wawancara itu disebutkan bahwa Mongolia diklaim sebagai awal mula keberadaan hip-hop.
Tapi Jecko begitu yakin embrio itu berasal dari Indonesia. "Saya mengambil spirit tari tradisi kita untuk menjelaskan asal-usul hip-hop ini," ujar alumnus Jurusan Seni Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta itu.
Baca Juga:
Jecko begitu jeli menyusun gerakan yang ia ambil dari apa yang dekat dengannya. Tari berdurasi satu jam ini membentuk skenario yang menjelaskan muasal hip-hop, yang berkembang pesat di kawasan Bronx, New York, Amerika Serikat.
Awalnya penari-penari itu membuat gerakan yang amat primitif, seperti kera yang sedang bercengkerama. Jecko menyebutnya animal pop. Gerakan tubuh mereka sangat elastis, sembari meracau berteriak seperti kera.
Lalu mereka berkelompok, membuat gerakan imitasi, yaitu meniru gerakan penari lain. Sesekali Jecko memasukkan bagian jenaka dalam koreografinya. Seperti ketika penari dari Jerman, Karla Zimmerman, berpakaian bikini merah dan kemudian menjadi bintang di antara kelompok itu. Atau, saat salah seorang penari mengucap beberapa dialog yang diikuti dengan gerakan-gerakan lucu. Tak jarang penonton tertawa melihatnya, meski beberapa dialog itu tak banyak dimengerti karena diucap dalam bahasa daerah Papua.
Koreografi Jecko sangat khas. Ia masih mengandalkan gerakan-gerakan yang sangat cepat. Dari sini akan terlihat bagaimana kecakapan sepuluh penari yang terlibat. Bahkan penari laki-laki juga menunjukkan gerakan salto atau berjalan dengan kedua tangan, yang membuat kagum penonton.
Tarian yang dipersiapkan selama tiga bulan itu melibatkan banyak gerakan kaki dan entakan tangan ke lantai panggung. Kesan lincah terus mendominasi. Bahkan beberapa penari lelaki mampu meloncat tinggi dengan hanya bertumpu pada tangan atau paha saat ia terduduk.
Sesekali Jecko membubuhkan gerakan tari tradisi dari beberapa daerah seperti Jawa, atau iringan lagu rakyat seperti Ampar-ampar Pisang. Semangatnya untuk memperkenalkan seni tradisi kepada kaum muda terlihat jelas dalam karya ini, meski warna Papua mendominasi.
Skenario berikutnya, gerakan hip-hop semakin kentara, meskipun warnanya masih dicampur dengan gerak tari Papua. Hingga pada akhirnya Jecko menunjukkan tarian hip-hop yang berkembang seperti saat ini.
Pertunjukan malam itu sebagai pemanasan sebelum dipentaskan perdana di Berlin (Jerman), Singapura, dan Melbourne (Australia), sepanjang April hingga Oktober mendatang.
ISMI WAHID