TEMPO Interaktif, Surakarta - Perempuan itu tampak mencari sesuatu. Sesekali dia berteriak seperti memanggil-manggil seseorang. “Uma….Uma……,” teriaknya sembari berkeliling di pelataran Candi Sukuh, Karanganyar, Surakarta, Jawa Tengah.
Lalu, dengan lembut tangannya memegang batu dan relief yang berada di candi. “Sirnalah kutukan….Sirnalah kutukan,” desisnya berulang kali. Sekitar 15 menit dia berkeliling dari batu satu ke batu yang lain, hingga pentasnya berakhir.
Annie Brook, nama perempuan itu, merupakan salah satu seniman yang tampil dalam perhelatan Srawung Seni Candi VII yang digelar di kompleks Candi Sukuh, Karanganyar, pada Jumat dan Sabtu pekan lalu. Dalam karya berjudul Story of Uma, Brook – seniman asal Amerika Serikat itu – ingin menunjukkan kekagumannya terhadap cerita yang ada dalam relief candi tersebut.
Bagi kebanyakan masyarakat, Uma alias Betari Durga dipandang sebagai tokoh raksasa perempuan yang menakutkan. Tapi tidak bagi Brook. “Uma adalah perempuan hebat,” katanya. Kehebatan dan kesaktiannya membuat banyak orang takut kepadanya. Bagi Brook, Uma adalah salah satu pelopor kebangkitan perempuan dalam kisah pewayangan.
Cerita tentang Betari Durga memang terpampang di relief Candi Sukuh. Butuh waktu lima hari bagi Brook, pelaku seni sekaligus terapis itu, untuk memahami cerita dan menyajikan dalam sebuah karya.
Tafsir para seniman mancanegara terhadap relief Candi Sukuh berbeda-beda. Banyaknya relief dan arca bergambar lingga dan yoni –bentuk kelamin pria dan wanita―membuat Frances Mezzeti menampilkan karya bertema seksualitas. Dalam menampilkan karyanya, seniman asal Skotlandia itu dibantu oleh Maya Cockburn dan Usha Mahenthiralingam.
Meski bertema seksualitas, sama sekali tak ada yang terkesan vulgar dalam karya Mezzeti. Sembari menari, ketiga perempuan itu saling berbagi helai-helai bulu angsa. Sesekali, bulu-bulu nan halus itu disebar dan terbang tertiup angin.
Menurut Mezzeti, adegan menebar bulu angsa itu menggambarkan jika perempuan memiliki hak yang sama dengan kaum pria dalam melakukan aktivitas seksual. “Sudah bukan saatnya lagi dominasi dipegang oleh pria, termasuk dalam urusan seksual,” katanya.
Mezzeti menjelaskan, karya tersebut terinspirasi dari lingga dan yoni. Unsur lingga dan yoni yang ada di Candi Sukuh menggambarkan jika tidak ada pihak yang dominan dalam seksualitas.
Selain tafsir atas relief, ada pula seniman dengan karya yang terinspirasi oleh alam di sekitar Candi Sukuh, yang kebetulan terletak di lereng Gunung Lawu. Salah satunya Maya Cockburn asal Irlandia. Ia berpentas di pelataran candi dengan mengenakan sehelai kain untuk ikat kepala. Di bagian belakang kepala terdapat bulu-bulu dari patahan kemoceng. Di tengah semilir angin pegunungan, Cockburn berputar mengepakkan tangan seperti terbang. Terkadang mulutnya mengeluarkan suara pekikan burung gagak saat mementaskan karya berjudul Crow-The Shapeshifter itu.
Lewat karyanya itu, Cockburn ingin bercerita mengenai rangkaian metamorfosa dalam kisah kehidupan manusia. Tidak hanya secara fisik, kehidupan manusia dapat berubah dari waktu ke waktu. “Menjadi burung gagak memang gaya saya setiap pentas,” ujarnya. Dia mengaku dapat menjiwai perannya lebih dalam karena berada di lokasi alam bebas.
Begitulah. Bagi para seniman yang tampil dalam perhelatan itu, Candi Sukuh memang menjadi sumber inspirasi yang bisa terus digali. Para seniman yakin, kegiatan itu mampu melestarikan nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah candi.
Menurut penggagas Srawung Seni Candi, Suprapto Suryodarmo, saat ini banyak pihak yang hanya menempatkan candi sebagai barang bersejarah untuk tontonan. Kepentingan pariwisata terkadang justru membuat candi kehilangan makna. “Sudah saatnya kami berbuat sesuatu untuk candi,” kata Suprapto.
Perhelatan Srawung Seni Candi telah digelar tujuh tahun berturut-turut. Di setiap perhelatan, Suprapto yang juga pimpinan Padepokan Seni Lemah Putih, Solo, itu selalu mendatangkan seniman dari dalam dan luar negeri.
Khusus untuk Srawung Seni Candi VII ini, para seniman asing yang terlibat berasal dari kelompok Ecologycal Body, sebuah kelompok yang belajar meditasi dengan cara berselaras dengan alam. Tidak semuanya merupakan seniman murni. “Beberapa merupakan ahli terapi,” Suprapto menjelaskan.
AHMAD RAFIQ