Di hadapan penonton yang memenuhi Teater Salihara, Rabu malam lalu, Margaret menunjukkan kepiawaiannya sebagai seorang maestro piano. Margaret membuka pertunjukan malam itu dengan karya-karya komposer avant-garde, John Cage, yakni Bacchanale, Suite for Toy Piano, Dream, dan In the Name of the Holocaust.
Agar musik yang dihasilkan sempurna, Margaret memang tak bisa cuma diam di tempat duduk. Maklum, repertoar yang dimainkannya itu tak hanya membutuhkan tekanan-tekanan pada tuts, tapi juga senar piano. Selain itu, untuk menghasilkan bunyi-bunyian yang lebih beragam--tak sekadar dentingan piano klasik--Margaret, yang tampil berbalut blus abu-abu tanpa lengan dan celana panjang kulot ungu, harus sibuk mengatur senar piano.
Pertunjukan yang disuguhkan Margaret bukan sekadar resital piano biasa. Dia tak cuma memboyong piano besar ke atas panggung, tapi juga sebuah piano kecil (toy piano), yang disebut kinderklavier. Piano setinggi 51 sentimeter untuk para bocah itu dimainkan bergantian dengan piano besar. Sesekali dia harus membagi kedua tangannya: tangan kanan memainkan piano bocah. “Saya berlatih keras agar bisa memainkan sebuah lagu yang biasa dimainkan dengan piano biasa,” katanya kepada Tempo seusai pertunjukan.
Perempuan yang menetap di New York, Amerika Serikat, ini lahir dengan nama Margaret Tan Hee Leng di Singapura, 12 Desember 1945. Ia mendapat beasiswa untuk belajar di The Juilliard School, pada usia 16 tahun. Sepuluh tahun kemudian, ia menjadi perempuan pertama yang mendapatkan gelar Doctor in Musical Art di Juilliard School, Lincoln Center, New York. Pada 1997, Margaret mengeluarkan album cakram The art of the Toy Piano, yang berisi sejumlah komposisi piano bocah karya Beethoven dan Eleanor Rigby karya The Beatles.
Bermain piano bocah adalah keistimewaan pianis yang mulai belajar piano pada usia enam tahun itu. Kemahirannya membuatnya menuai banyak julukan. George Crumb menahbiskannya sebagai seorang juru sihir perempuan, Somei menyebutnya cenayang, dan harian New York Times menjulukinya “Ratu Piano Bocah”. “Padahal waktu kecil saya justru tidak suka bermain piano bocah. Saya lebih tertarik pada piano dewasa,” katanya sambil tertawa.
Rasa ketertarikannya pada piano bocah baru muncul pada 1993. Waktu itu dia diminta tampil dalam konser mengenang komposer John Cage, yang meninggal pada 1992. Di acara yang berlangsung di Lincoln Center, New York, itu untuk pertama kalinya Margaret memainkan komposisi gubahan Cage berjudul Suite for Toy Piano dengan piano bocah. “Saat itulah saya baru menyadari betapa piano bocah itu sangat indah. It's magic,” katanya.
Malam itu Margaret, yang baru pertama kali konser di Indonesia, membawakan 12 karya enam komposer dunia. Selain karya John Cage, dia memainkan karya-karya Henry Cowell, Toby Twinning, Eric Griswold, George Crumb, dan Somei Satoh.
Margaret menampilkan musik yang menantang keterbatasan instrumen piano dan piano bocah. Dia juga mengkombinasikannya dengan instrumen lain yang sejatinya bukan alat musik. Kepiawaiannya itu terlihat saat dia membawakan lagu Old MacDonald's Yellow Submarine. Lagu itu dia mainkan dengan toy piano, peluit kereta api, serta klakson dan bel sepeda secara bersamaan. “Alat yang buruk butuh keahlian yang lebih baik,” begitu moto Margaret, mengutip Marcel Duchamp.
NUNUY NURHAYATI