Lewat catatan yang kemudian dikirimkan ke seorang sahabatnya via email itu, Dadang menyatakan bahwa kenangan akan sebuah peristiwa atau sejarah itu hanya bekas, samar, dan kabur. Yang tertinggal cuma angka dan tanggal.
Dalam catatannya itu, Dadang menyertakan contoh lukisannya dalam bentuk foto. Lukisan itu menggambarkan ulang ulang peristiwa seorang mahasiswa sedang mencoba menghalangi laju barisan tank Tentara Rakyat Cina yang hendak merangsek para demonstran di Lapangan Tiananmen. Di sisi kanvas lukisan, tertera dengan jelas tanggal peristiwa itu: 5 Juli 1989.
Bertolak dari perenungannya itulah, Dadang juga mengutarakan niatnya untuk melukis ulang pelbagai peristiwa bersejarah yang penting, terutama yang merekam nasib tragis manusia. Dan Dadang memberikan ciri visual yang khas untuk lukisan-lukisannya: menggambarkannya dengan serbakabur dan mencantumkan tanggal, bulan, dan tahun peristiwanya – seperti contoh lukisan yang disertakan dalam catatannya di atas.
Niat Dadang itu kemudian terwujud dalam pameran tunggalnya di Nadi Galeri, Puri Indah, Jakarta Barat, bertajuk History: Will Teach Us Nothing. Pameran ini berlangsung hingga 6 September 2010. Menyimak lukisan-lukisan yang dipamerkan, di sana tampak dengan jelas Dadang memanfaatkan citra fotografi sebagai rujukan visual sekaligus sebagai isi.
Berangkat dari foto-foto dokumentasi perang, baik di dalam maupun luar negeri, Dadang kemudian “menyadurnya” dalam bentuk lukisan di atas kanvas. Karya-karyanya bermain dalam dua warna, hitam-putih. Dadang tak menggunakan kuas dalam membuat lukisannya, melainkan dengan amplas. Awalnya, seluruh permukaan kanvas disapu cat hitam, dan kemudian ia mulai melukis dengan mengamplas bagian-bagian yang dibuat gelap dan terang.
Hasilnya, sebuah gambar yang tidak fokus, yang membuat obyek seolah berbayang lebih dari dua. Boleh dibilang teknik melukis itu bukan barang baru, karena lazim digunakan para pelukis untuk membuat efek, kesan tekstur atau barik. Tapi, di tangan Dadang – yang mengenyam pendidikan di sanggar seni rupa Rangga Gempol, Bandung, Jawa Barat – teknik itu justru menghasilkan racikan yang segar. “Bisa dilihat, bagaimana teknik melukis realis dihela sampai pada puncak photorealisme yang berkembang dalam seni lukis,” ujar kurator pameran, Enin Supriyanto.
Lewat lukisan-lukisannya itu, Dadang ingin menyatakan bahwa yang tersisa dari sejarah – baik penderitaan, informasi, simpati, atau empati – hanyalah kenanagan. Dan semuanya itu menjadi sebuah unsur yang kabur. Yang terekam jelas hanya angka tanggal kejadian dan peristiwa.
Coba simak lukisan tentang kepedihan Ryan White, yang terkena HIV/AIDS di tahun 1980-an. Tampak wajahnya tertunduk dengan mata terpejam. Di sisi kanan lukisan tertera tanggal, APR 08 1990. Lalu, karya lain yang merujuk pada peristiwa pembantaian jutaan warga Kamboja ketika Polpot berkuasa pada 1970-an. Dadang melukis deretan foto diri para korban. Di dua urutan terakhir, kanvas dibiarkan kosong, hanya diisi guratan garis. Dadang ingin menyampaikan, kolom yang ksosong itu bisa diisi wajah siapa saja yang menjadi korban kekejaman. Daftar korban pun ditutup dengan lukisan foto diri Dadang yang sedang tertawa. Konon, tentara Polpot paling benci dengan tawanan yang tertawa saat diinterograsi, sebelum dieksekusi.
Yang juga cukup menarik adalah empat lukisan berseri yang mengisahkan kematian Muhammad al-Durrah, bocah Palestina berusia 12 tahun. Ia mati tertembak peluru misterius di persimpangan Netzarim, Gaza, 30 September 2000. Jurnalis Talal Abu Rahma yang meliput dan merekamnya dengan kamera video. Dan rekaman video itu kemudian menyebar ke seluruh dunia. Dari rekaman itu Palestina-Israel kembali berseteru dan saling menyalahkan.
Dalam pameran itu, Dadang juga menyuguhkan karya yang merekam sepenggal sejarah Indonesia, yakni keruntuhan rezim Soeharto. Dalam lukisan yang mencantumkan tanggal May, 21, 1998 itu Soeharto tampak berstelan jas dan berpeci. Ia tengah menilik jam tangannya. Lukisan yang menggambarkan detik-detik dimulainya reformasi itu dilengkap dengan empat deret wajah penerus klan Soeharto, termasuk putra bungsunya: Tommy Soeharto. Disertakan pula dalam lukisan itu, tiga lukisan mini tentang kerusuhan Mei 1998.
Dalam catatan kuratorialnya, Enin Supriyanto menulis, lewat karya-karynya Dadang ingin mempertanyakan seluruh kesadaran kita tentang sejarah tragis manusia selama ini. Apa yang terjadi sesungguhnya? Berapa banyak dan seberapa benar yang kita ketahui? Apakah seluruh citra dan informasi tentang nasib buruk dan penderitaan orang lain, di belahan dunia lain, bisa menjadikan kita manusia yang punya simpati, atau empati pada penderitaan manusia lain? Apakah semua itu bisa menjadi pemantik semangat solidaritas sosial?
Ataukah, Enin menambahkan, semuanya pada akhirnya hanya jadi bagian dari tumpukan data arsip dan statistik? Mengabur dari kesadaran kita dan tertinggal hanya sebagai angka penanggalan, untuk masuk dalam jajaran data pengetahuan umum kita tentang berbagai peristiwa?
Maka dari itu, Dadang pun kemudian menulis pesan yang dikirimkan kepada Enin: “Sebuah peristiwa sepahit atau sengeri apapun pada akhirnya hanya akan jadi kenangan”.
AGUSLIA HIDAYAH