Rupanya, ini merupakan lawatan Pazira yang pertama kalinya ke Indonesia. Pazira datang dalam rangka pemutaran film terbarunya Act of Dishonour di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, Kamis lalu. Berikut petikan perbincangan singkat dengan perempuan berkebangsaan Kanada yang juga seorang jurnalis dan penulis itu seputar film barunya:
Apa yang menjadikan Anda tertarik dengan tema konflik budaya dan kemudian memfilmkannya?
Bagi saya, sangat menarik mempelajari sosial dan kultur negara lain, apalagi di daerah konflik dan penuh militerisasi itu. Perempuan selalu menderita dalam konflik yang berkepanjangan. Pada masa peperangan Afganistan tahun 1979, laki-laki yang ada di garis depan pasti menjadi pahlawan. Apapun yang terjadi dengannya. Banyak perempuan yang kehilangan anak lelakinya atau suaminya.
Dalam film itu Anda berperan sebagai Mejgan, perempuan Afganistan. Mengapa Anda digambarkan sebagai orang asing yang tidak banyak tahu adat istiadat desa itu?
Banyak orang-orang Afganistan keluar dari negaranya pada saat perang dulu. Saya bersama keluarga menetap lama di Kanada selama 20 tahun. Keluarga saya ingin menghapus masa-masa buruk di Afganistan. Ketika kami kembali dalam waktu yang sangat lama itu, semuanya menjadi sangat asing dengan apapun. Begitu juga dengan adat istiadat.
Seperti film sebelumnya, mengapa Anda menyukai film yang berbasis dokumenter?
Saya sangat menyukai dokumenter karena menggambarkan momen atau kisah yang sebenarnya. Dalam film ini, bahannya saja sudah sangat rumit, kisah nyata dan sangat mengisnpirasi. Dan saya ingin membaginya dengan Anda.
Apa tantangan Anda ketika membuat film ini dibandingkan film sebelumnya?
Saat pembuatan film Kandahar lebih sulit. Keadaannya membingungkan. Mereka juga dalam keadaan kesulitan ekonomi dan sangat sulit ditembus. Tidak ada orang lokal yang bisa membantu. Tapi itu 9 tahun lalu.
Untuk film ini, saya kesulitan mencari pemeran perempuan yang pas. Manajer produksi mengatakan kepada saya tidak akan ada orang lokal yang membantu karena film yang dibuat bercerita tentang pembunuhan bagi kaum itu. Dan saya tetap mengambilnya.
Untungnya, kami mengambil gambar di sebuah desa di perbatasan antara Afganistan dan Tajikistan. Kru film yang terlibat dari Kanada, Tajikistan, dan Afganistan. Banyak bahasa dan budaya yang dipakai. Saya kadang tidak memahami mereka. Tapi semuanya bisa diatasi. Kami sama-sama belajar.
ISMI WAHID