Sumunar memukau tak hanya lewat alunan gamelan – yang kesemuanya masih tradisional orisinil – yang mereka mainkan. Tapi mereka juga berhasil menyedot perhatian penonton lewat tembang yang dilantunkan para bule dengan cengkok Barat sembari tangan mereka terampil menabuh gamelan.
Kelompok gamelan Sumunar adalah satu di antara 10 grup yang tampil dalam festival gamelan yang digelar untuk ke-15 kalinya itu. Kelompok lain yang tampil dalam perhelatan itu, di antaranya, KPH 10 (Yogyakarta dan Amerika Serikat), Kyai Fatahillah Meets Ensemble Gending (Bandung dan Netherlands), OrkeStar Trio with Ramu Thiruyanam (Singapura), Rene Lysloff (California, Amerika), Bronze Age (Singapura), Kiai Kanjeng (Yogyakarta), serta Wawan Kurniawan dan Gita Mahatma (Bandung).
Sejak digelar pertama kali pada 1995, perhelatan kesenian tahunan ini telah diikuti sekitar 34 negara. Perhelatan yang digelar oleh Komunitas Gayam 16 itu tak sekadar melestarikan gamelan sebagai budaya Indonesia, tapi ingin terus mengembangkan gamelan sesuai kondisi yang ada. Dan untuk festival yang ke-15 ini panitia mengusung tema “Gamelan Anytime”.
Ya, salah satu penampilan yang sangat menarik dalam festival kali ini adalah suguhan dari Sumunar Indonesian Music and Dance. Dengan kostum hitam-hitam dipadu corak batik warna kuning, para pemain gamelan dari Minnesota, Amerika Serikat, itu mengawali pertunjukannya dengan tembang Pambuko.
Musik pembuka itu disusun sendiri oleh Direktur Gamelan Sumunar Indonesian Music and Dance Joko Sutrisno dengan irama lancaran laras pelog pathet enem. Komposisi itu seolah menyelaraskan telinga penonton pada tembang-tembang Jawa yang telah lama tak diperdengarkan.
Saat Pambuko berakhir, penonton kembali dibuat terkesima. Sebab, orang-orang bule dengan rambut pirang itu duduk bersimpuh sembari mengatupkan kedua telapak tangannya di depan hidung laiknya menghaturkan sembah. Mereka tampak membungkukkan badan ke hadapan penonton yang duduk merapat hingga di pembatas panggung.
Belum hilang keterpanaan penonton yang notabene para kawula muda itu, Sumunar melanjutkan dengan persembahan irama Gambyong Pangkur. Irama gamelan itu sekaligus sebagai pengiring bagi empat perempuan penari “Gambyong Pangkur”, yakni Direktur Tari Tri Sutrisno yang sekaligus istri Joko Sutrisno, Nanda Sutrisno, serta dua penari bule Aimee Thostenson dan Anne von Bibra Wharton – yang keduanya mempunyai latar belakang keilmuan di bidang antropologi.
“Tarian Indonesia adalah tantangan, sekaligus memberi pengalaman meditasi dan konsentrasi yang berbeda,” kata Anne, dosen tari Veselica International Dance Ensemble yang butuh 14 tahun untuk belajar tarian Jawa.
Selain mengajarkan gamelan dan musik tradisi Jawa, rupanya Joko juga mengajak para bule Minesota itu shalawatan melalui iringan musik terbangan. Bersama-sama mereka meninggalkan sejenak gong, kenong, kempul, gender. Mereka kemudian memukul terbang, alat musik pukul sejenis rebana sembari melantunkan Asma Allah dalam lagu.
Aksi serupa mereka lakukan ketika berkolaborasi dengan kelompok paduan suara dari Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jawa Tengah, untuk melantunkan tembang berjudul Holy Manna dengan iringan gamelan. Holly Manna adalah lagu yang dinyanyikan orang gereja. Melodinya yang menggunakan nada-nada pentatonis ternyata mempunyai interval nada-nada yang mendekati laras gamelan slendro. Sungguh menarik.
Joko menyatakan, sebagai sebuah wadah seni pertunjukan yang berbasis di Minnesota, keikutsertaan Sumunar dalam Yogyakarta Gamelan Festival untuk mempromosikan pengetahuan dan apresiasi musik, tari dan budaya Indonesia melalui pertunjukan sekaligus pembelajaran. Atas dasar itu pula, setiap penabuh gamelan akan berganti posisi pada intsrumen gamelan lainnya setiap kali satu musik selesai dialunkan. “Setiap gendhing, kami ubah posisi. Biar bisa belajar semua instrumen gamelan,” ujar Joko.
Penampilan Sumunar sebagai penyaji terakhir dalam perhelatan yang digelar sepanjang 16-18 Juli lalu itu boleh dibilang sangat mengesankan. S.P. Joko, salah seorang panitia yang juga pengrawit Kyai Kanjeng, menyatakan bahwa Sumunar adalah kelompok musik gamelan yang menarik dan masih berpegang pada tradisi.
Itu terbukti, tutur S.P. Joko, instrumen yang dimainkannya masih alat-lat musik tradisi. Hanya ditambah terbang atau rebana sebagai instrumen pendukungnya. Sedangkan instrumen lain yang biasa menjadi bagian kolaborasi untuk membuat instrumen kontemporer, seperti drum, gitar, bass, atau pun organ, tak tampak dalam permainan Sumunar. “Jadi kalau mau nonton gamelan tradisi, salah satunya nonton Sumunar,” katanya.
PITO AGUSTIN RUDIANA