Pada puncaknya, setelah adegan permainan bola api, muncullah Shinta di atas kereta dengan anggunnya. Ibarat pasukan kera,para penari menurunkannya. Lalu bola api dilemparkan ke dalamnya hingga menyala bagai obor raksasa. Inilah penggalan Ramayana yang lebih menonjolkan dramatisasi dan eksplorasi gerak tari daripada ceritanya sendiri.
Art Director acara itu Jay Subiyakto sengaja memilihnya sebagai penutup pergelaran “Tri Hita Karana”, pada Jumat malam pekan lalu di lapangan Astina, Ubud, Bali. Sebab, kisah tentang Shinta yang membakar dirinya sebagai bukti kesucian setelah terlepas dari cengkeraman Rahwana bisa selalu menjadi pengingat. Yakni, agar kesucian hati selalu menjadi awal dalam berkesenian atau berbagai kegiatan lainnya.
Penutup itu juga klop dengan tema pementasan malam itu “Tri Hita Karana” . Ini adalah ajaran Hindu yang berarti tiga kausa bagi kesejahteraan. Yakni, harmonisasi antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam lingkungan dan manusia dengan sesama. “Tanpa niat yang suci, sulit sekali untuk melakoninya,” ujar Jay.
Seluruh materi acara pun dirangkai dalam semangat itu. Music director Dewa Budjana menterjemahkannya ke dalam segmentasi-segmentasi presentasi musiknya. Ia dibantu oleh maestro gamelan Bali AA Gde Oka Dalem dan komposer Bali Agung Alit Bona.
Diawali dengan lantunan Gayatri Mantram dinyanyikan Ayu Laksmi, seluruh dinamika kehidupan manusia disimbolisasikan ke atas panggung. Seperti pada nomor Rerad Rerod, yang dibawakan oleh Kadek Dewi dalam nyanyian dan gerak tari, menggambarkan kehidupan manusia yang selalu berdampingan, bergotong royong dan saling menghormati. Setelah itu, Ayu Laksmi kembali mengingat pentingnya menjaga mata air melalui lagu berjudul Gangga
Acara menjadi makin mengesankan dengan penampilan Gita Gutawa. Hanya kali ini dia tampil anggun dengan gaun malam yang mempesona cocok dengan nada-nada sendu yang dinyanyikannya. Putri komposer Erwin Gutawa itu melantunkan lagu Karma karya Dewa Bujana yang liriknya ditulis penyair Putu Wijaya. “Penampilannya sudah pasti sangat berbeda dari biasanya,” kata Jay.
Gita Gutawa baru menunjukkan gaya aslinya saat membawakan lagu kedua Malu tapi Mau. Menurut Jay, lagu itu untuk menunjukkaan semangat kemudaan yang dibunga-bungai oleh olah asmara yang natural. Barulah setelah lagu itu, pelajaran cinta yang paling hakiki – yang berasal dari hubungan antara ibu dan anak – ditebarkan melalui Cening Putri Ayu yang dibawakan oleh duet Gita Gutawa dan Ayu Laksmi.
Sebelum tarian penutup, Nyoman Sura menampilkan tarian yang menggambarkan kehidupan orang Bali yang selalu terpaut dengan Pura. Atas penampilan para seniman malam itu, Jay menyatakan sangat puas. “Saya bisa membuktikan kembali bahwa Bali adalah gudangnya seniman sejati,” ujarnya.
Pergelaran musik dan tari sendiri sudah 3 kali dilakukannya di ajang “Gempita Gianyar”. Dari perhelatan itu dia belajar kepada para seniman Bali yang menjadikan kesenian sebagai wujud keyakinan religiusnya.
Bupati Gianyar Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati berterima kasih atas pergelaran itu. Dia berharap, nama Ubud yang baru saja mendapat gelar “The Best City in Asia” dari majalah wisata Conde Nas Traveller di Amerika akan makin semerbak. “Kalau bukan karena keseniannya, apalagi yang kita miliki,” katanya.
ROFIQI HASAN