Ia Vincent Sekwati Koko Mantsoe. Tubuhnya hitam dan berotot. Tatapannya tajam dan gerak langkahnya pasti. Ia berputar sekali, dua kali, lalu terdiam. Lalu mulai bergerak, gemulai, dan sedetik kemudian berubah cepat. Temponya masih beraturan dan olah tubuhnya tetap bisa dinikmati.
Mantsoe tengah menjadi raja dalam pertunjukan tunggalnya yang bertajuk Barena (Chiefs). Komposisi tari karya koreografer Afrika Selatan itu sekaligus menjadi nomor penutup perhelatan Indonesian Dance Festival ke-10, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada Kamis malam lalu. Karya Mantsoe tersebut tampil setelah penampilan dua karya koreografer Indonesia, Jecko Siompo bertajuk Dari Beta Max Sampai DVD Berjajar Pulau-pulau dan Eko Supriyanto berjudul Home: Ungratifying Life.
Gaya menari Mantsoe sangat enerjetik. Dengan latar tari tradisional Afrika yang dinamis, membuat olah tubuhnya tak monoton. Ia merentangkan kedua kakinya membentuk kuda-kuda sejajar. Layaknya tarian Jawa, ujung jarinya pun lentik gemulai ke kiri dan ke kanan. “Entahlah, saya justru mendapat gerak seperti itu saat berada di Australia,” ujarnya seusai pentas.
Setelah itu, gerak perutnya yang patah-patah pun makin dominan. Sambil mempertontonkan otot lengannya, ia membentangkan badan. Hingga napas yang terengah-engah membuat dadanya naik-turun cepat.
Tongkat yang selalu digenggamnya juga mampu menjadi beberapa medium berbeda. Selain sebagai lambang keagungan sang raja, tongkat itu mampu jadi tombak dan bahkan bisa berfungsi jadi cangkul. Kala menjadi tombak, Mantsoe memperlihatkan gerakan cepat dan tendangan ke udara. “Terlihat seperti Capuera ya, padahal saya belajar Thai Chi loh,” katanya. Dan ketika berubah jadi cangkul, sang raja pun seolah bermutasi menjadi masyarakat petani.
Barena berkisah tentang kehidupan seorang raja dengan masyarakat yang dipimpinnya. Raja duduk di singgasana dan doing nothing. “Raja cuma bisa say hello and good bye,” ujar Mantsoe.
Adapun rakyatnya banting tulang untuk memakmurkan kerajaan. Lalu sang raja sadar, betapa ia terlalu jauh dari rakyatnya. “Meski jadi raja, ia pun manusia biasa. Sang raja ingin menari dan bercengkrama dengan mereka,” katanya. Inilah dua sisi humanis yang bisa dialami oleh siapa saja.
Nomor tari berdurasi 25 menit ini sarat pesan moral. Meski dipentaskan dengan latar panggung yang sederhana, hanya bentangan gambar akar pohon yang dibidik dari film proyektor, Mantsoe mampu memberika tontonan segar di antara ragam tari kontemporer saat ini. Kisah ini pun berbanding lurus dengan latar kehidupan Mantsoe kecil yang tumbuh di tengah semaraknya Apartheid di kampungnya, Soweto, Afrika Selatan.
Nomor yang satu ini bukanlah barang baru dalam daftar karya sang maestro tari Afrika Selatan. Barena pernah dipentaskan di beberapa negara sejak 2002 lalu. Padatnya jadwal manggung Mantsoe membuat dirinya tak memiliki waktu untuk mempersembahkan karya baru bagi pergelaran yang baru pertama kali diikutinya ini. “Saya sudah mendengar gaung IDF sejak dulu, dan sering juga diundang. Namun selalu tak bisa karena memang jadwalnya tak pernah pas,” ujarya.
Mantsoe menempuh jalan panjang dalam menapaki karirnya. Setelah bertahun-tahun ia hanya menari di sanggar anak muda Joy Dancers dan berlatih tari jalanan, ia kemudian berjodoh dengan kelompok tari di Johhanesburg, Moving Into Dance Mophatong (MIDM). Atas bimbingan Sylvia Glasser, ia mempelajari teknik tari Afrika Selatan dan Australia. Jadilah rumus versi Mantsoe, kolaborasi gerakan African-Kontemporer-Asia.
Debut Mantsoe dimulai pada 1992. Ia menciptakan berberapa karya, antara lain, Speaking with Tongues, Gula Matari, Tlotlo, Naka, dan Men-Jaro. Sebuah kehormatan tak terlupakan saat ia tampil mementaskan karya tunggalnya pada inagurasi presiden Nelson Rolithlahtla Mandela (1994), dan di depan Queen Beatrix dari Belanda.
Pada pertengahan 1990, Mantsoe meraih posisi kehormatan “International Choreographic Commissions” untuk karya Sasanka pada Harlem Dance Theatre di Amerika Serikat, Bodika di COBA Kanada, Majara pada Skanes Danse Theatre di Swedia, dan Letlalo pada Ace di Inggris.
AGUSLIA HIDAYAH