Tisna Zarina Zainal Abidin membuka pentas dengan lakon berjudul Dari Delhi ke Syononto. Berpakaian perempuan India, monolog yang diawali dengan bahasa Inggris itu ikut diselingi tarian dan musik India. Cerita rekaan sutradara Roslee Mansor tersebut berkisah tentang seorang perempuan India bernama Dewi, yang terdampar di negeri orang.
Berangkat bersama kedua orang tuanya dari India, mereka ingin ke Syononto atau Singapura. Di tengah laut, kapal mereka karam. Hanya Dewi yang selamat, lalu dibawa seorang nelayan Semenanjung Melayu dari bibir pantai.
Sebagai anak angkat nelayan, tugas Dewi hanyalah mengurus hasil melaut. Tiap teringat kedua orang tuanya, yang dipanggil Ama dan Apa, ia berlatih menari setelah bekerja. Dewi pun menjadi penari dan akhirnya memilih pulang ke tanah kelahirannya.
Pertunjukan sekitar 20 menit itu sangat miskin properti. Hanya memakai kapal kertas dan suara latar seperti ombak. Lakon baru Rooslee itu pun mengalir datar, tanpa hentakan apalagi kejutan.
Lakon kedua tampil lebih menarik. Berjudul Wad (kamar) 301, Zamzuriah Zahari memerankan 3 karakter bergantian. Di awal pertunjukan, ia adalah seorang perempuan berkerudung yang berceloteh sambil duduk di atas kursi. Seperti sedang berceramah, dia mempersoalkan anak-anak muda zaman sekarang yang tak taat aturan. Masalah kemudian merembet ke soal agama.
Beralih ke babak kedua, Zamzuriah menjadi seorang nenek bungkuk bertongkat kayu. Dengan wajah bertopeng, ia menyempatkan turun panggung dan menyambangi deretan kursi bagian depan Gedung Kesenian Sunan Ambu. Dengan bahasa Melayu, ia berusaha menjalin komunikasi dengan penonton.
Tapi rekan-rekan kelompok teaternya saja yang menyahuti. Penonton lain yang kebanyakan mahasiswa dan pelajar SMK Seni di Bandung memilih diam. Mereka mungkin bingung karena monolog malah mengajak berdialog.
Setelah itu, ia menjadi seorang penari. Di babak ini, identitas perempuan tak bernama itu mulai terkuak. Berulang-ulang ia menegaskan bukan pembunuh kedua orang tuanya. "Ayah tertusuk pisau sendiri. Ibu minum racun," katanya.
Dalam lawatannya ke Indonesia, kelompok teater yang sering membawakan lakon realisme itu singgah di Bandung. Membawa 13 orang anggotanya, kelompok juara Festival Teater Malaysia pada 1991, 1992, dan 1993 itu batal pentas di Surabaya, Jawa Timur, karena mahalnya izin pertunjukan. Selanjutnya, kata Roslee, mereka akan bertandang ke Bali -- mempelajari kebudayaan setempat.
@
Anwar Siswadi